Yangon (ANTARA News) - Peraih Nobel Perdamaian Malala Yousafzai dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Asia memimpin kritik berkelanjutan terhadap Myanmar dan pemimpin sipilnya Aung San Suu Kyi berkenaan dengan penderitaan etnis minoritas muslim Rohingya.

Hampir 90.000 orang Rohingya membanjiri Bangladesh dalam 10 hari terakhir menyusul peningkatan pertempuran antara pemberontak dan militer Myanmar di Rakhine State yang dilanda perselisihan.

Daerah miskin yang berbatasan dengan Bangladesh itu sudah menjadi tempat ketegangan komunal antara Muslim dan pemeluk Buddha selama bertahun-tahun, dengan Rohingya dipaksa hidup di bawah pembatasan pergerakan dan kewarganegaraan.

Kekerasan baru-baru ini, yang dimulai Oktober lalu ketika sekelompok kecil militan Rohingya menyerang pos-pos perbatasan, adalah yang terburuk bagi Rakhine selama bertahun-tahun, dengan PBB menyebut tentara Myanmar mungkin melakukan pembersihan etnis sebagai respons serangan tersebut.

Suu Kyi, mantan tahanan politik junta Myanmar, menghadapi peningkatan tekanan karena ketidakmauannya mengutarakan penentangan pada perlakuan terhadap Rohingya atau menghukum militer.

Dia tidak menyampaikan komentar publik sejak pertempuran terakhir terjadi pada 25 Agustus.

"Setiap kali saya melihat berita-berita itu, hati saya hancur karena penderitaan muslim Rohingya di Myanmar," kata aktivis asal Pakistan Yousafzai, yang terkenal karena selamat setelah ditembak oleh Taliban, dalam sebuah pernyataan di Twitter.

"Dalam beberapa tahun terakhir saya berulang kali mengecam perlakukan tragis dan memalukan ini. Saya masih menunggu rekan peraih Nobel Aung San Suu Kyi untuk melakukan hal yang sama," katanya.

Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Aman juga mempertanyakan tindakan diam Suu Kyi.

"Terus terang, saya tidak puas dengan Aung San Suu Kyi," kata Anifah kepada AFP.

"(Sebelumnya) dia berdiri untuk prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sekarang kelihatannya dia tidak melakukan apa-apa."

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pekan lalu menuduh Myanmar melakukan "genosida" terhadap Rohingya.

Pada Senin dia mengatakan: "Disayangkan pembunuhan besar-besaran terjadi di Myanmar. Kemanusiaan tetap diam..."

Ia menambahkan organisasi-organisasi bantuan Turki memberikan bantuan dan akan membawa masalah itu ke Majelis Umum PBB bulan ini.


Kemarahan tetangga

Peningkatan krisis mengancam hubungan diplomatik Myanmar, khususnya dengan negara-negara mayoritas Muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Indonesia, tempat publik sangat marah karena perlakuan terhadap Rohingya.

Maladewa mengumumkan pada Senin bahwa mereka memutuskan semua hubungan perdagangan dengan negara itu "sampai pemerintah Myanmar ambil tindakan untuk mencegah kejahatan terhadap Muslim Rohingya" menurut pernyataan kementerian luar negeri.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi sudah menemui Suu Kyi dan pemimpin militer Jenderal Min Aung Hlaing di Naypyidaw pada Senin dalam upaya menekan pemerintah negara itu untuk bertindak lebih banyak guna mengatasi krisis.

"Sekali lagi, kekerasan, krisis kemanusiaan ini harus segera dihentikan," kata Presiden Indonesia Joko Widodo kepada pers saat mengumumkan misi Retno.

Menteri Luar Negeri Pakistan mengatakan "sangat prihatin mengenai laporan-laporan soal peningkatan jumlah korban jiwa dan pengungsi Muslim Rohingya" dan mendesak Myanmar menyelidiki laporan-laporan kejahatan terhadap komunitas itu.

Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif menambahkan dalam cuitan terkininya: "Kebungkaman global pada kekerasan berlanjut terhadap #Rohingya Muslims. Aksi internasional penting untuk mencegah pembersihan etnis lebih lanjut - PBB harus rapat umum." (hs)


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017