Jakarta (ANTARA News) - Ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta membuat resaha sebelas warga Yogyakarta.

Sebelas orang ini berasal dari beragam profesi, mulia  abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, pegiat antidiskriminasi hak asasi perempuan, sampai aktivis perempuan sekaligus Ketua Komnas Perempuan 1998.

Sebelas orang ini menilai ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m UU KDIY menimbulkan penafsiran seolah-olah hanya laki-laki yang dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Adapun ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU KDIY) menyatakan alon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.

Mereka berpendapat bahwa ketentuan a quo telah menimbulkan kerugian atau setidaknya berpotensi merugikan kaum perempuan.

Oleh sebab itu, sebelas warga Yogyakarta itu kemudian mengajukan uji materi atas undang-undang a quo ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah mendengarkan berbagai keterangan ahli di dalam lebih dari 10 sidang yang digelar di MK, akhirnya MK mengeluarkan putusan atas uji materi ketentuan UU KDIY.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan perempuan dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur D.I. Yogyakarta.

"Mengadili, mengabulkan permohohan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Mahkamah menyatakan frasa "yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak" bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dengan demikian, MK menegaskan perempuan memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai gubernur dan/atau wakil gubernur di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut Mahkamah, rumusan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m UU KDIY mengandung pembatasan terhadap pihak-pihak yang statusnya tidak memenuhi kualifikasi dalam norma a quo untuk menjadi calon kepala daerah yang di dalamnya termasuk perempuan.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Suhartoyo, pembatasan tersebut bukan didasari dengan maksud memenuhi tuntutan yang adil, yang didasarkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, maupun ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Sebaliknya, untuk memenuhi tuntutan yang adil Mahkamah menilai pembatasan demikian tidak boleh terjadi, termasuk dalam ketentuan a quo.

Terlepas dari ada atau tidaknya persoalan diskriminasi sebagaimana didalilkan para pemohon, telah terang bagi Mahkamah bahwa adanya frasa yang memuat, antara lain, riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak, telah menjadikan ketentuan a quo menyimpang dari semangat Pasal 18 B Ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, papar Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Dengan kata lain, dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ataupun ketertiban umum yang terganggu atau terlanggar jika pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 18 Ayat (1) Huruf m Undang-Undang KDIY, termasuk perempuan, menjadi calon gubernur atau calon wakil gubernur di DIY, kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pendapat Mahkamah.

Hal tersebut, menurut Mahkamah, secara empirik terbukti dalam pengisian jabatan kepala daerah di daerah-daerah lain, baik untuk jabatan kepala daerah di tingkat provinsi maupun kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, juga untuk jabatan-jabatan publik pada umumnya.

Selain itu, Mahkamah pun menyatakan ketentuan a quo tidak sesuai dengan sejarah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Mahkamah menyatakan bahwa saat itu Yogyakarta secara sukarela bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebelum bergabung dengan Indonesia, Yogyakarta adalah entitas tersendiri. Artinya, secara eksistensi keberadaan Yogyakarta telah ada lebih dahulu dibanding Indonesia.

"Dari sini ada konsekuensi yang timbul, yaitu secara legal aturan pemilihan sultan idealnya merujuk pada aturan internal yang berkembang di Keraton Yogyakarta," terang  Suhartoyo.

Namun, ketentuan a quo justru menjadi bentuk campur tangan negara pada kewenangan pemilihan pemimpin di Yogyakarta.

Mahkamah kemudian menyatakan hal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara menghormati daerah khusus atau istimewa yang diatur dalam undang-undang.

"Adanya persyaratan penyerahan berkas riwayat hidup yang harus diserahkan saat menjadi calon gubernur justru sikap yang tidak menghormati keistimewaan Yogyakarta," jelas Suhartoyo.

Di sisi lain ketentuan a quo, menurut Mahkamah juga tidak relevan untuk diterapkan sebab kewajiban pemberian berkas sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo hanya cocok bagi daerah yang gubernurnya dipilih melalui mekanisme pilkada.

Sementara itu, di Yogyakarta, Sultan yang sekaligus menjabat sebagai Gubernur D.I. Yogyakarta dipilih oleh internal keraton, tidak melalui mekanisme Plikada seperti daerah lainnya.

Oleh Maria Rosari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017