Beijing (ANTARA News) - China mengeluarkan revisi peraturan mengenai keagamaan agar terhindar dari bentuk-bentuk kegiatan separatisme serta yang memicu gesekan antarwarga.

Peraturan baru tentang keagamaan yang dikeluarkan pemerintah pada Kamis (7/9) lalu itu berlaku efektif per 1 Februari 2018, demikian sejumlah media resmi di China melaporkan, Selasa.

Regulasi baru tersebut menekankan pentingnya kelompok-kelompok agama sebisa mungkin menghindari pengaruh kekuatan asing, demikian laporan Global Times.

Dibandingkan dengan peraturan yang berlaku sebelumnya, regulasi baru lebih spesifik dan lebih ketat yang oleh para pengamat dimaksudkan untuk mengatasi persoalan-persoalan terkini di bidang keagamaan di daratan Tiongkok itu.

"Aturan versi revisi ini sangat penting untuk mengimplementasikan semangat Presiden China Xi Jinping terkait masalah agama," demikian laporan Kantor Berita Xinhua.

Peraturan baru tersebut dianggap mampu melindungi kebebasan beragama dan memperkuat pelayanan publik pada kelompok agama, sekolahan, dan kegiatan keagamaan.

Umat beragama bisa menggelar kegiatan keagamaan asalkan sesuai dengan undang-undang dan para pekerja di bidang agama mendapatkan perlindungan keamanan, demikian aturan versi revisi.

Aturan itu juga menyebutkan pentingnya keharmonisan dan upaya saling menghormati antarpemeluk agama dan antara pemeluk agama dengan yang bukan pemeluk sehingga tidak ada lagi konflik di antara mereka.

Peraturan ini bertujuan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam beberapa tahun terakhir, demikian pernyataan Liu Guopeng, pakar keagamaan dari Institute of World Religion Studies of the Chinese Academy of Social Sciences (CASS) sebagaimana dikutip Global Times.

"China memiliki beberapa persoalan seperti konflik antarpemeluk agama dan persoalan ini sangat serius," ujarnya.

"Sebagai contoh, menurut riset kami, pemeluk Protestan tumbuh sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir di China daratan dan mereka lebih konservatif dibandingkan umat Nasrani lainnya. Mereka sering kali menentang agama-agama lain, seperti Buddha dan Taoisme. Juga punya konflik dengan Islam," kata Liu menambahkan.

Ada juga insiden antara umat Islam dan masyarakat lain di beberapa wilayah di China. Keributan yang diduga melibatkan kelompok minoritas Muslim di gerbang tol Tangshan, Provinsi Hebei, pada awal bulan ini telah memicu perdebatan di media sosial di China.

Sebagai dampak dari paham Wahabi di Timur Tengah, beberapa kelompok Islam di wilayah barat China, seperti Xinjiang dan Ningxia, juga mengalami peningkatan konservatisme dan agresivitas, demikian Liu.

"Konflik antara umat Islam dan umat agama lain bahkan menyebabkan kekerasan dan pertumpahan darah," ujarnya.

Berdasarkan penelitian Liu, runtuhnya kerukunan dapat mengancam stabilitas sosial dan fungsi pemerintahan.

"Oleh karena itu, regulasi keagamaan harus segera disesuaikan dengan situasi," katanya.

Regulasi versi revisi itu juga menekankan pentingnya semua agama memegang prinsip-prinsip kebebasan dan aturan pemerintah setempat sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh asing.

Pada bulan Juni lalu, dua warga negara China yang direkrut oleh organisasi misionaris di Korea Selatan dibunuh oleh kelompok garis keras di Pakistan.

Para pengamat di China menyebutkan bahwa peristiwa itu menunjukkan besarnya risiko yang mungkin saja ditanggung oleh China karena dilibatkan dalam peristiwa terorisme di luar negeri seperti organisasi misionaris Korsel yang diduga makin aktif merekrut warga China.

"Misionaris Korsel terus mengadakan kegiatan di bawah tanah di China sejak satu dasawarsa yang lalu. Dengan merekrut misionaris dari China bisa menyelamatkan nyawa warga Korsel. Selain itu, banyak organisasi misionaris yang disponsori agen intelijen," ungkap Chu Yin, profesor University of International Relations seperti dilaporkan Global Times.

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017