Dhaka, Bangladesh (ANTARA News) - Jumlah warga Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari kerusuhan etnis mencapai 389.000 pada Kamis (14/9) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan kemungkinan "skenario kasus terburuk" kalau semua kelompok minoritas muslim berusaha melarikan diri.

Jumlah tersebut naik 10.000 dalam 24 jam, mengindikasikan bahwa krisis Rohingya masih akut.

Badan-badan bantuan berjuang mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi di sekitar kota perbatasan Bangladesh, Cox’s Bazar, dengan 10.000 sampai 20.000 orang yang menyeberang setiap harinya.

"Ketika kami memberikan jumlah pertama orang-orang yang datang, kami berbicara tentang 79.000 atau 80.000 orang dan dalam 2,5 pekan kami mencatat ada 400.000 orang," kata Mohammed Abdiker Mohamud, direktur Organisasi Keimigrasian Internasional (International Organization for Migration/IOM).

"Kau harus punya perkiraan terbaik, skenario kasus terbaik. Kami harus memperkirakan skenario kasus terburuk ketika semua orang berpindah," tambah dia.

"Kami tidak bisa mengabaikan situasi ini dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja," katanya sebagaimana dikutip kantor berita AFP.

"Kecuali solusi politik ditemukan, ada kemungkinan bahwa semua masyarakat Rohingya bisa datang Bangladesh," katanya kepada AFP.

Diperkirakan ada 1,1 juta Rohingya di Rakhine State yang selama puluhan tahun mengalami persekusi di Myanmar, yang didominasi penganut Buddha.

(BACA: Kemarin, bantuan Indonesia tiba di Bangladesh hingga heboh obat PCC)

Sedikitnya 300.000 orang sudah mengungsi ke Bangladesh sebelum penindakan dimulai pada 25 Agustus, menyusul serangan militan Rohingya terhadap pos-pos polisi.

Sejak itu secara keseluruhan eksodus yang meninggalkan Myanmar setidaknya 700.000.

Badan-badan PBB yang lain menyampaikan kekhawatiran mengenai kondisi di Bangladesh, yang berjuang mengatasi banjir pengungsi.

Kamp-kamp di sekitar Cox's Bazar kurang memadai bahkan sebelum kekerasan terkini meletus.

Badan anak PBB, UNICEF, menyatakan 60 persen dari pengungsi baru yang datang adalah anak-anak.

"Ada kekurangan akut untuk segala hal, yang paling kritis tempat penampungan, makanan dan air bersih," kata Edouard Beigbeder, perwakilan UNICEF di Bangladesh, dalam satu pernyataan.

"Kondisi di lapangan menempatkan anak-anak pada risiko tinggi penyakit yang menular melalui air. Kami punya tugas monumental di hadapan mata untuk melindungi anak-anak yang rentan ekstrem ini."

Mohamud dari IOM, yang menjadi bagian tim PBB yang mengunjungi kamp-kamp Rohingya dalam beberapa hari terakhir, mengatakan krisis itu mengejutkan PBB, badan-badan internasional, dan pemerintah Bangladesh.

Karena kamp-kamp yang ada membludak, para pendatang baru membuat tenda-tenda di sekitarnya.

"Jujur saja. Tidak ada seorangpun yang menduga akan ada 400.000 orang melintasi perbatasan menuju Bangladesh, jadi tidak ada yang siap, dengan makanan, tempat berlindung dan fasilitas kesehatan."

Ia mengatakan masyarakat internasional harus "cepat" memberikan bantuan.

"Kita membutuhkan keterlibatan dan dukungan lebih, ada kebutuhan akan bantuan," katanya.

Sementara militer Myanmar mengatakan militan Rohingya ada di balik kekerasan itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut penindakan militer itu sebagai pembersihan etnis.

Dewan Keamanan PBB pada Rabu menyeru "langkah segera" Myanmar untuk mengakhiri kekerasan.(kn)

(BACA: (Laporan dari Bangladesh) - Dubes RI untuk Bangladesh: pengungsi Rohingya butuh tenda)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017