Kudus (ANTARA News) - Permintaan kedelai impor di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, sejak dua pekan terakhir mengalami penurunan, menyusul menurunnya daya beli masyarakat terhadap produk berbahan baku kedelai.

"Penurunan permintaan kedelai impor tidak hanya dari pegusaha tahu, melainkan pengusaha tempe juga mengurangi pembelian kedelai karena menurunnya daya beli masyarakat," kata Ketua Primer Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Primkopti) Kabupaten Kudus Amar Maruf di Kudus, Jumat.

Awalnya, kata dia, permintaan kedelai impor dalam sehari bisa mencapai 20-an ton, kini turun menjadi 13 ton, bahkan pernah hanya 10 ton per harinya.

Penjualan tahu dan tempe sejak dua pekan terakhir, katanya, informasinya mengalami penurunan secara bervariasi.

Untuk itu, lanjut dia, pengrajin tahu maupun tempe mengurangi produksinya, agar tidak merugi.

Biasanya, kata Maruf, kenaikan harga jual kedelai tidak begitu berpengaruh terhadap produksi mereka.

Apalagi, lanjut dia, pada awal Agustus 2017 harga jual kedelai sempat naik hingga mencapai Rp6.850 per kilogram.

Sementara harga jual kedelai impor saat ini per kilogramnya sebesar Rp6.600 dibandingkan dengan harga jual sebelumnya hanya Rp6.500 per kilogramnya.

Kenaikan harga jual, kata dia, bukan karena faktor kurs dolar terhadap rupiah, melainkan karena faktor indeks barang.

Harga jual kedelai impor tersebut, katanya, masih lebih murah, dibandingkan kedelai lokal yang mencapai Rp6.650/kg.

Meskipun demikian, pengrajin tahu dan tempe di Kabupaten Kudus lebih senang menggunakan kedelai impor, karena ketersediaan bahan baku impor tersebut selama ini selalu tersedia, dibandingkan kedelai lokal.

Pasokan kedelai lokal saat ini, katanya, berasal dari Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati.

Daerah lain yang juga penghasil kedelai, yakni Kabupaten Grobogan, Kabupaten Jember, dan Lamongan.

Adapun jumlah pengusaha tahu dan tempe di Kabupaten Kudus diperkirakan mencapai 300-an pengusaha yang tersebar di sejumlah kecamatan.

Pewarta: Akhmad NL
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017