Malang (ANTARA News) - Ribuan sopir angkutan kota (angkot) dari berbagai trayek yang beroperasi di wilayah Kota Malang mengancam akan menggelar demonstrasi besar-besaran dan mogok massal sebagai bentuk protes terhadap beroperasinya kembali transportasi berbasis "online".

Aksi yang menindaklanjuti ketidakjelasan aturan soal transportasi online tersebut akan digelar, Senin (18/9) di kawasan Stasiun Kotabaru, gedung DPRD hingga Balai Kota Malang, Jawa Timur, di Jalan Tugu.

Ketua Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) Malang Rudi Soesamto di Malang, Sabtu mengatakan aksi tersebut merupakan upaya angkot dan taksi resmi mendapat perlindungan dari pemerintah. Sebab, selama ini merekalah yang memiliki izin operasional angkutan.

"Kami berharap transportasi berbasis online ini tidak melakukan operasional terlebih dahulu hingga ada keputusan dari Kementerian Perhubungan. Kami hanya meminta keadilan dalam menjalankan transportasi umum sesuai peraturan perizinan, sementara transportasi online yang tidak punya izin apapun," katanya.

Bahkan, lanjutnya, di tingkat pusat pun belum ada tindak lanjut resmi soal putusan MA atas aturan transportasi online. Rencana aksi turun jalan dan mogok kerja yang akan dikakukan oleh ribuan sopir yang tergabung dalam paguyuban angkutan umum awal pekan depan itu disayangkan pemerintah Kota Malang, karena kejadian itu mengulang kembali aksi mogok yang dilakukan pada awal 2017.

Wali Kota Malang Moch Anton pun dibuat pusing dan capek dengan permasalahan yang sama itu. "Taksi online dan konvensional kembali berselisih. Dampaknya, sopir angkot berencana melakukan aksi turun jalan dan mogok lagi. Saya itu pusing dikejar-kejar angkot terus," kata Anton.

Ia mengakui kecaman dari banyak pihak terkait polemik tersebut terus bergulir, terutama di media sosial (medsos). "Sebagai kepala daerah, yang bisa saya lakukan saat ini adalah menunggu keputusan dari pemerintah pusat, sebab saya juga tidak bisa seenaknya membuat kebijakan dan keputusan dari hasil peraturan yang telah dibuat sebelumnya," ujarnya.

Anton mengemukakan kebijakan keberadaan transportasi berbasis online di Malang merupakan kewenangan dari Pemprov Jatim. Sebelumnya, pihaknya sudah memberi saran kepada taksi konvensional untuk melakukan pembaruan pada armada angkutan umumnya. Salah satunya dengan memberi layanan WiFi untuk menarik perhatian penumpang.

Menurut Anton, teknologi yang berkembang pada dasarnya tak bisa dibendung, namun harus dijawab dengan inovasi baru agar tidak sampai tergerus dengan perkembangan zaman. "Kami sudah sering mendorong taksi konvensional ini, tapi tidak ditindaklanjuti," ucapnya.

Menyinggung rencana sopir angkot yang akan menggelar unjuk rasa besar-besaran, Anton mengaku akan berkoordiansi dengan Polres Kota Malang terkait pengamanannya. "Secara detail masih akan kami bicarakan lebih lanjut," katanya.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017. Peraturan menteri tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek atau transportasi online ini digugat oleh sedikitnya enam pengemudi angkutan sewa khusus.

Sedikitnya terdapat 14 pasal dalam Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek dianggap bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Ke-14 pasal ini telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga MA memerintahkan kepada Menhub untuk mencabut pasal-pasal itu. Ada sekitar 18 substansi aturan transportasi online yang dibatalkan, di antaranya terkait tarif, kuota, SRUT, domisili kendaraan, badan hukum, uji KIR, dan wilayah operasi. Artinya, saat ini tidak ada aturan yang mengikat operasional transportasi online.

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017