Saya sangat beruntung dapat menghadiri kegiatan "US-Islamic World Forum" (Forum Kerja Sama Amerika Serikat-Dunia Islam) yang diadakan di New York, Amerika Serikat, 16-17 September 2017.

Forum yang diinisiasi oleh lembaga think tank ternama, The Brookings Institute dan didukung oleh Pemerintah Qatar ini merupakan forum yang sangat penting dalam memahami dinamika kawasan Timur Tengah dan dunia Islam lainnya, termasuk Indonesia.

Diharapkan dengan forum ini ada pemahaman yang komprehensif bagi Amerika dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya terhadap dunia Islam.

Ada banyak isu yang dibahas dalam forum ini, antara lain masalah stabilitas di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, pengungsian dan kota-kota terdampak, penanggulangan terorisme serta masa depan Islam politik.

Semua isu penting, tapi bagi saya yang mewakili Islam Asia Tenggara, dinamika di Timur Tengah dan kaitannya dengan Asia Tenggara (Indonesia) menjadi sangat penting.

Pelajaran-pelajaran apa yang bisa dimaknai dari peristiwa-peristiwa di Timur Tengah saat ini?

Persoalan utama di Timur Tengah yang sangat menarik dan perlu digarisbawahi berdasarkan paparan dan diskusi dalam forum itu adalah masalah kohesitas dan konsensus politik.

Ini disebabkan karena Timur Tengah secara umum memiliki masalah ketidakpercayaan di antara elite-elite mereka. Tentu masalah ini diawali oleh persoalan perebutan akses politik dan ekonomi yang kemudian merembet ke masalah agama dan etnisitas.

Biasanya, kelompok elite minoritas menguasai dan mengontrol kelompok mayoritas. Akibatnya, regim cenderung represif terhadap kelompok oposisi.

Arab Spring yang diharapkan menjadi mata air di tengah gurun pasir itu pun berubah menjadi mimpi buruk yang menakutkan.

Ketidakpercayaan itu terus meluas dan terpolarisasi di tingkat elit mereka. Misalnya, terjadi perseteruan yang akut antara kelompok sekuler dan islamis.

Kelompok sekuler merasa paling paham mengenai politik dan demokrasi sehingga cenderung apatis terhadap kelompok Islam yang dianggapnya tidak serius dalam menjalankan demokrasi.

Sebaliknya, kelompok Islamis cenderung memonopoli isu-isu keislaman. Dampaknya, kelompok Islamis sering dipinggirkan dalam proses politik. Ketika mereka berkuasa pun sering dicurigai akan merusak tatanan politik dan nilai-nilai demokrasi.

Padahal semestinya tidak demikian jika kepercayaan itu terbangun di antara elit-elit nasional yang ada.

Upaya membangun konsensus di antara elit-elit politik maupun sosial keagamaan secara umum perlu dilakukan agar dapat merekatkan mereka dalam kepentingan bersama menjaga stabilitas.

Tentu bukan hal yang mudah membangun konsensus di kalangan elit-elit yang ada di negara-negara Timur Tengah. Namun hanya dengan konsensus itu kerja sama dapat dilakukan dan rekonsiliasi mungkin terjadi.

Konflik yang berlangsung lama dan akut itu terjadi karena mereka tidak menemukan konsensus yang bisa diterima oleh semua kalangan. Karena tidak ada pijakan konsensus ini maka pembagian kekuasaan (power sharing) tidak berjalan.

Rekonsiliasi tidak sulit dilakukan dalam menyelesaikan konflik karena masing-masing masih dibayang-bayangi oleh pengalaman sejarah mereka yang penuh konflik. Harapannya generasi baru dapat lebih baik membangun konsensus guna menciptakan kondisi Timur Tengah baru yang lebih baik.



Pelajaraan bagi Indonesia

Tentu banyak pelajaran yang dapat dijadikan refleksi bagi Indonesia guna menciptakan kondisi politik Indonesia yang lebih stabil. Demikian pula hubungan harmonis antar kelompok, suku maupun agama juga diharapkan semakin kuat.

Perlu disyukuri Indonesia telah memiliki sebuah konsensus yang merekatkan segala komponen bangsa. Pancasjla merupakan konsensus yang berhasil dibangun oleh para pendiri bangsa.

Perdebatan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler pun dapat diselesaikan dengan baik. Ada kelapangan dan kerelaan dari kelompok Islam untuk memberikan jalan bagi kerja sama permanen.

Pertanyaan penting adalah bagaimana menjaga konsensus itu. Belajar dari kasus di Timur Tengah yang belum menemukan konsensus nasional maka kepercayaan dan sikap saling menghormati harus terus dipupuk di kalangan elite-elite bangsa.

Polemik yang dapat menciptakan polarisasi antara kelompok Islam dan nasionalis tidak perlu terjadi. Artinya, di negara ini tidak ada kelompok yang menganggap dirinya paling nasionalis. Sebaliknya tidak ada kelompok tertentu yang merasa paling berhak berbicara tentang Islam dalam kaitannya dengan kebangsaan.

Ini menarik diperhatikan bahwa partai-partai politik di Indonesia baik yang menyebut sebagai partai nasionalis maupun Islam hampir semuanya memiliki konsen yang sama bahwa Islam menjadi bagian penting dalam membangun karakter dan nilai bangsa ini.

Realitas ini dapat dijumpai dari adanya organisasi-organisasi keagamaan yang di bawah naungan partai-partai politik di Indonesia. Beberapa ormas Islam itu, antara lain Baitul Muslimin (PDIP), Satkar Ulama (Golkar), dan Majelis Dzikir SBY (P Demokrat).

Sementara itu para aktifis ormas-ormas keagamaan maupun kepemudaan dengan berbagai jaringan yang dimiliki hampir ada di setiap partai-partai politik di Indonesia. Karenanya, tidaklah tepat untuk memperuncing polemik antara Islam dan kebangsaan. Kelompok Islam telah membuktikan semangat kebangsaannya dalam menjaga NKRI.

Tentu kondisi seperti ini tidak terjadi dalam political landscape di Timur Tengah di mana kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler bergandeng tangan dalam menjaga konsensus kebangsaan. Tentu saja ada riak-riak di antara mereka tetapi tentunya tidak perlu diperlebar maupun dihadap-hadapkan.



Kesimpulan

Islam yang moderat, inklusif dan melindungi minoritas menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia dan memudahkan proses penguatan political accomodation dan pluralism di Indonesia. Sekali lagi itu tidak terjadi di negara-negara di Timur Tengah.

Kemajemukan menjadi sesuatu yang melekat dan tidak perlu dipertanyakan. Sebagaimana kelompok Islam tidak perlu mempertanyakan kelompok nasionalis sekuler dalam hal komitmen menjaga semangat ketuhanan dalam bangsa ini maka kelompok nasionalis pun tidak semestinya mencurigai semangat kemajemukan kelompok Islam dalam membangun bangsa ini.

Ketika partai-partai nasionalis mampu mengartikulasikan nilai-nilai keagamaan dalam membangun bangsa maka partai-partai Islam juga harus menonjolkan semangat kebhinekaan dalam artikulalasi politik dan kebangsaan.

Ini daya rekat guna menjaga kohesitas antarkelompok dan golongan yang berbeda dalam membangun bangsa.

Mengaca kondisi Timur Tengah yang tidak segera menemukan konsensus dalam membangun bangsa saat ini maka konsensus yang sudah dipersiapkan oleh para pendiri bangsa perlu untuk dijaga dan dikembangkan.

Kuncinya dengan selalu mengedapankan semangat toleransi, hormat-menghormati dan kepercayaan (trust) dalam ikatan persatuan dalam kebhinekaan (unity in diversity).

Dengan demikian Islam di Indonesia hendaknya menjadi berkah yang harus disyukuri sebagaimana perannya dalam membangun konsensus bangsa juga harus diapresiasi.


*) Penulis adalah Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia (UI)



Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017