Jakarta (ANTARA News) - Indonesia resmi meratifikasi Konvensi Minamata untuk mengendalikan peredaran dan penggunaan bahan beracun berbahaya (B3) merkuri dengan melakukan Depository International of Regulation (IoR) kepada Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa di New York, Amerika Serikat.

"Alhamdulillah, acara Depository Konvensi Minamata telah dilakukan Menteri Luar Negeri di Markas PBB New York pada Jumat (22/9), pukul 22.15 WIB," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di Jakarta, Sabtu.

Setelah Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata Mengenai Merkuri), pada Jumat (22/9), pukul 23.00 WIB, Pemerintah Indonesia telah secara resmi melakukan depository IoR.

Dokumen itu, menurut Siti, diserahkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi kepada Under Secretary General for Legal Affairs atau UN Legal Counsel Miguel de Serpa Soares pada pukul 11.00 waktu setempat.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pengesahan konvensi ini memberikan ruang kepada Indonesia berperan lebih aktif dan memiliki hak suara penuh dalam proses pengambilan keputusan pada forum regional dan global yang terkait dengan berbagai pengaturan pelaksanaan Konvensi Minamata termasuk dalam pengembangan prosedur, pedoman dan modalitas lainnya.

Selain itu, ia mengatakan pengesahan ini juga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk memperoleh manfaat dalam mengakses sumber pendanaan, teknologi transfer, peningkatan kapasitas dan kerja sama internasional untuk mendukung Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanganan Merkuri.

Sebelumnya, Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Karliansyah mengatakan Indonesia ingin segera menyetorkan ratifikasi Konvensi Minamata ini ke Sekjen PBB di New York, sebelum Conference of Parties (COP) ke-1 Konvensi Minamata yang digelar pada 24-29 September 2017 di Jenewa. Nanti Indonesia bisa menjadi negara ke-76 yang meratifikasi konvensi mengatur penggunaan merkuri tersebut.

Tenaga Ahli Menteri Bidang Evaluasi Kinerja Kerja Sama Luar Negeri KLHK Arief Yuwono mengatakan proses ratifikasi Konvensi Minamata mengenai merkuri ini cukup cepat dengan melakukan "bypass" di beberapa tahapan.

Namun penyiapan naskah akademik sudah dilakukan sejak 2013, sehingga sebenarnya tidak tergesa-gesa menerjemahkan konvensi ke dalam undang-undang.

Sebelumnya, menurut dia, pertemuan-pertemuan antarkementerian dan lembaga sudah dilakukan, dengan tujuan saat pengesahan undang-undang tidak terjadi konflik kepentingan. Proses harmonisasi Rancangan Undang Undang Konvensi Minamata mengenai merkuri ini juga telah dilakukan Kementerian Hukum dan HAM.

Ada 15 perundang-undangan yang diujikan dan ternyata tidak saling bertentangan, sehingga dapat segera diteruskan ke Presiden untuk diajukan meminta persetujuan DPR. Persetujuan ratifikasi oleh dewan sudah diberikan dalam Sidang Paripurna DPR, Rabu (13/9).

Pada COP1 Konvensi Minamata nanti, ia meyakini belum akan ada pengambilan keputusan apa pun, sehingga Indonesia yang belum resmi memiliki suara seperti 50 negara lainnya tidak perlu khawatir.

"Setelah 90 hari ratifikasi disetorkan ke PBB baru kita aktif sebagai parties. Kita memang belum memiliki suara pada COP1 nanti, tapi kita tetap boleh berbicara dalam konferensi," katanya pula.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017