Jakarta (ANTARA News) - Upaya membebaskan Indonesia dari bahan beracun berbahaya (B3) melalui kebijakan dan strategi tepat dimaksudkan agar tragedi Minamata seperti yang terjadi di Jepang, tidak terjadi di Indonesia.

"Jangan sampai tragedi Minamata ke-2 terjadi di Indonesia," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Sabtu.

Tragedi Minamata merupakan pencemaran merkuri yang terjadi di Teluk Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, kisaran tahun 1932, setelah industri batu baterai PT Chisso membuang limbah B3 ke teluk tersebut dalam jumlah sangat besar mencapai 200 hingga 600 ton Hg. Dampak buruk mulai terlihat di 1949, ratusan orang meninggal karena kelumpuhan syaraf setelah mengkonsumsi ikan yang tercemar logam berat merkuri di Teluk Minamata.

Karenanya, ia mengatakan upaya membebaskan Indonesia dari bahaya merkuri tidak hanya dilakukan di tingkat individu saja. Namun, memerlukan suatu kebijakan dan strategi serta sinergi yang kuat baik di tingkat individu, lembaga maupun negara, di tingkat pusat dan daerah, secara nasional, regional bahkan internasional.

Kunci keberhasilan dalam implementasi Konvensi Minamata di tingkat nasional, lanjutnya, terletak pada kepemimpinan antar strata pemerintahan pusat dan daerah, yang didukung koordinasi dan koherensi lintas sektor. Pelibatan para pemangku kepentingan seperti swasta dan dunia usaha, pendidik, penggiat lingkungan, insan pers, organisasi kemasyarakan serta akademisi dan para tokoh masyarakat menjadi sangat penting.

Sebelumnya, Tenaga Ahli Menteri Bidang Evaluasi Kinerja Kerja sama Luar Negeri KLHK Arief Yuwono mengatakan setelah ratifikasi Konvensi Minamata mengenai merkuri dilakukan kini Pemerintah menyiapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) pengendalian penggunaan B3 merkuri atau air raksa di Indonesia.

Menurut Arief, finalisasi RAN pengendalian penggunaan B3 merkuri sedang dilakukan dengan mengkoordinasikannya kepada 13 Kementerian/Lembaga. Rencana aksi ini disiapkan ini untuk benar-benar bisa mengikat di setiap sektor dan harus "legally binding", termasuk juga yang berkaitan dengan pendanaan.

Pengendalian merkuri ini harus dilakukan serentak dan dilakukan oleh seluruh sektor, mulai dari kesehatan, perindustrian, perdagangan, energi sumber daya dan mineral (ESDM), lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, hingga sektor pertahanan dan keamanan, guna mendapatkan hasil maksimal.

Karenanya, rencana aksi pengendalian penggunaan merkuri ini akan tertuang dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres), lanjutnya.

Menurut Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Karliansyah, nantinya penggunaan B3 merkuri hanya diperbolehkan di kalangan sangat terbatas dalam jumlah yang terbatas pula, seperti laboratorium untuk penelitian dan aktivitas militer.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017