Jakarta (ANTARA News) - Rais Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Maruf Amin mengisyaratkan penolakannya terhadap rencana pencabutan moratorium Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

"Sudah benar atau belum memberi pelayanan kepada TKI?. Jadi, kalau merasa perlindungan TKI belum maksimal, ya mending tidak usah mencabut moratorium," kata Kiai Maruf saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Penegasan tersebut terkait dengan pernyataan Kepala BNP2TKI Nusron Wahid bahwa pihaknya telah menyusun dan merumuskan solusi terkait penempatan TKI ke Timur Tengah yang sejak 2012 hingga kini berstatus dimoratorium.

"Kami memang sedang menyusun solusi-solusi baru dan merumuskan format tata kelola penempatan dan perlindungan TKI yang baru sebagai solusi ketika nanti moratorium TKI ke Timur Tengah dicabut," kata Nusron.

Kiai sepuh NU Maruf Amin ini kemudian menyarankan sebelum mencabut moratorium, lebih baik BNP2TKI instrospeksi diri apakah sudah memberi pelayanan dan perlindungan maksimal kepada TKI.

Hal itu, lanjut dia, sebenarnya moratorium itu dilakukan atas dasar untuk memberi perlindungan kepada TKI, menyusul banyaknya TKI di Timur Tengah yang nasibnya tidak jelas.

Rais Aam PBNU ini khawatir jika moratorium dipaksakan dicabut justru malah merugikan Warga Negara Indonesia.

Oleh karena itu, kata Maruf, pihaknya meminta pemerintah harus memperbaiki tata kelola TKI lebih dulu sebelum mencabut moratorium.

"Yang akan dirugikan itu para pekerja TKI. Jangan mengorbankan mereka. Maksimalkan dulu perlindungan dan pelayanan bagi TKI," tegasnya.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Alwi sebelumnya meragukan keseriusan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tentang klaim memiliki format baru tata kelola Tenaga kerja Indonesia (TKI).

"Saya ragu. Apakah benar mereka punya format tata kelola yang baru? Karena sampai saat ini belum ada perbaikan pelayanan BNP2TKI bagi para buruh migran," kata Bobby.

Bobby menegaskan, tata kelola pelayanan TKI bisa dibilang baik jika administrasi bagi para buruh migran sudah bagus, perlindungan maksimal, penempatan kerja yang sesuai, keterampilan cukup bagi para buruh migran dan koordinasi yang baik antara lembaga pemerintah.

"Kalau itu sudah terlaksana semuanya, maka bisa dipastikan tata kelola TKI sudah bagus. Tapi sayangnya semua itu belum terjadi," ujar Bobby.

Karena itu, kata dia, SBMI akan menolak jika moratorium akan dicabut sebab hal itu bisa dikatakan sebagai alat untuk melindungi WNI.

Berdasarkan pantauan yang dilakukan SBMI, walau terjadi moratorium pengiriman pembantu rumah tangga ke Arab Saudi pada 2011, jumlah TKI di negara tersebut mencapai 1,5 juta orang.

Dari jumlah tersebut, banyak di antara mereka yang terlibat kasus hukum, antara lain penganiayaan, pemerkosaan hingga pembunuhan.

Bahkan, menurut data Kementerian Luar Negeri, terdapat setidaknya 20 WNI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.

Siti Zainab adalah salah seorang dari empat warga Indonesia yang dieksekusi mati di Arab Saudi.

Bahkan, tambah Bobby, pada satu dekade terakhir setidaknya ada empat pembantu rumah tanggal asal Indonesia yang sudah dieksekusi mati, yaitu Yanti Iriyanti (2008), Ruyati (2011), serta Siti Zainab dan Karni (2015).

Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017