Jakarta (ANTARA News) - Dari anak-anak sampai orang tua, dari ibu hamil sampai bapak-bapak pincang, dari pengungsi yang baru saja tiba sampai yang sudah berhari-hari atau bahkan bertahun-tahun di kamp pengungsian, semua berbicara mengenai mengenai apa yang menimpa Rohingya.

Warga Bangladesh yang fasih berbicara Bahasa Inggris sering membantu Antara berkomunikasi dengan para pengungsi Rohingya, yang seperti rakyat Bangladesh umumnya berbicara menggunakan Bahasa Bengali.

Ketika tidak ada penerjemah, jika beruntung, bantuan bisa datang dari pengungsi yang dapat berbahasa Inggris atau bahkan bahasa Melayu, karena seperti warga Bangladesh, destinasi kerja luar negeri favorit mereka adalah Malaysia sehingga wajar kalau di antara mereka banyak yang fasih berbahasa Melayu.

Kalau kedua kelompok orang ini susah didapat untuk membantu komunikasi dengan orang-orang yang tertindas dan diinjak-injak martabatnya ini, bahasa "Tarzan" pun kadang bisa menjadi jembatan.

Seperti umumnya Bangladesh, nama orang-orang Rohingya sebagian mirip dengan nama orang-orang Indonesia. Dan mungkin ini merupakan salah satu faktor yang membuat warga Indonesia dan Rohingya bisa lebih cepat akrab.

Para pengungsi Rohingnya tinggal di kamp-kamp yang umumnya berada di sepanjang jalan raya Teknaf-Cox's Bazar yang sejajar dengan Sungai Naf, yang menjadi perbatasan alami Bangladesh dan Myanmar. 

Kebanyakan kamp pengungsi berada di dalam wilayah Cox's Bazar atau di daerah dekat kota turis di tepi pantai Teluk Benggala ini.

Sebelum eksodus besar pengungsi Rohingya dalam sebulan terakhir, sudah ada 30.000 pengungsi Rohingya menghuni kamp-kamp pengungsi resmi di Bangladesh, yakni Nayapara dan Kutupalong.

Badan urusan pengungsi PBB, UNHCR, sudah menggelontorkan dana antara tujuh juta sampai delapan juta dolar AS per tahun untuk Bangladesh guna membantu penanganan pengungsi yang terusir dan melarikan diri dari kekerasan dan penindasan di Myanmar.

Kamp Kutupalong


Setelah kebanjiran lebih dari setengah juta pengungsi baru, hanya dalam waktu empat pekan kamp-kamp pengungsi yang sudah ada sudah tak lagi bisa menerima pengungsi.

Untuk itulah kamp-kamp baru dibangun, seperti kamp Thengkali dan Jamtoli yang dikunjungi ANTARA News selama empat hari di Cox's Bazar.

Di Kutupalong, yang merupakan kantong penggungsi terbesar, banyak anak-anak pengungsi yang tidak tahu Rakhine dan Myanmar karena lahir di kamp ini.

Banyak juga yang tak begitu mengenal tanah airnya karena sejak anak-anak sudah meninggalkan Myanmar untuk mengungsi ke Bangladesh.

"Saya lahir di sini. Sekarang sudah kelas lima," kata bocah berusia 10 tahun bernama Jaheed Hamid dalam Bahasa Inggris lumayan fasih ketika Antara mengajaknya mengobrol di depan antrean panjang pengungsi Rohingya yang akan menerima paket bantuan dari Indonesia Humanity Alliance di Kamp Kutupalong pada 1 Oktober.

Jaheed lahir dari ibu perempuan Rohingya di Kamp Kutupalong sepuluh tahun lalu. Dia belajar di sekolah yang didanai oleh UNHCR.

Tak hanya bocah, orang-orang Rohingya jauh lebih tua dari Jaheed juga masih tetap menghuni kamp ini, seperti Shaiful Mustofa yang selama sembilan tahun terakhir bekerja untuk UNHCR.

Pria berusia 50-an tahun ini terlihat selalu menentang kamera. Dia bekerja sebagai pendokumentasi kegiatan UNHCR.

"Sudah pergi ke mana saja selama di sini? Pernah ke wilayah no man's land?" tanya dia kepada Antara.

Setelah mengobrol beberapa menit, dia meninggalkan nomor teleponnya diiringi kalimat, "siapa tahu Anda membutuhkannya nanti."

Sebaliknya, para pengungsi Rohingya yang baru tiba di Bangladesh mengutarakan kengerian yang baru saja mereka lalui.

Tanpa dikomando, karena mungkin pengalaman mengerikan ini dialami oleh semua Rohingya, mereka menceritakan rumah-rumah yang dibakar, orang-orang tersayang yang ditembak, perempuan-perempuan muda yang diperkosa, serta ledakan-ledakan yang mengakhiri hidup sebagian dari mereka, entah karena ranjau, granat atau bom dari udara.

"Banyak dari mereka yang lari ke hutan dan gunung-gunung untuk bersembunyi berhari-hari," kata juru bicara UNHCR di Bangladesh, Joseph Tripura.


Berpotensi jadi militan

Pengungsi berusia sekitar 40-an bernama Abdul Hamid berbicara kepada Antara di kamp pengungsi Jamtoli pada Sabtu 30 September mengenai mayat-mayat bergelimpangan di desa terdekat yang memaksanya segera membawa anak dan istri kabur ke hutan dan akhirnya menyeberangi Sungai Naf demi mencapai Bangladesh.

Sebelum mengungsi pun, hidup mereka sudah teramat susah dan didiskriminasi sedemikian rupa.

"Bagaimana bisa hidup tenang kalau setiap waktu kampung kami didatangi ratusan tentara," kata Muhammad Hussein, yang fasih berbahasa Melayu.

Feysel U-Azzez (25) bahkan menganggap pemerintah Myanmar sengaja membuat keadaan buruk agar Rohingya tidak betah hidup di Rakhine. Puncaknya, setelah militan ARSA melancarkan serangan terkoordinasi, kehidupan warga Rohingya pun mencapai titik nadir sampai kemudian setengah juta dari mereka terpaksa menyelamatkan diri ke Bangladesh.

"Sebelumnya punya segalanya, kami kini miskin tak punya apa-apa," kata Feysel, yang berbicara kepada Antara di Kamp Jamtoli.

Dari berbagai kesaksian, sebelum persekusi sistematis menimpa mereka di Rakhine, warga Rohingya dikenal sebagai penguasa utama sektor ekonomi, selain terdidik dan pandai.

Sayangnya pengakuan dan kesaksian para pengungsi ini sampai sekarang sulit diverifikasi karena  Myanmar tak juga membuka diri.

Rupanya Myanmar masih memandang dunia yang sudah serba transparan ini menggunakan kaca mata era 1950-an sampai 1980-an di mana informasi dianggap masih bisa dikendalikan atau ditutup serapat-rapatnya.

Mereka membantah telah terjadi pengusiran paksa Rohingya ketika satelit-satelit di luar angkasa sana merekam semua sisi yang justru ingin mereka sembunyikan dari dunia. Ini belum termasuk bukti-bukti yang dibawa pengungsi ke Bangladesh dengan kamera-kamera telepon seluler mereka.

Namun yang paling berbahaya dari itu semua adalah anak-anak yang tercerabut dari akarnya dan dipisahpaksakan dari orang tua mereka dan bahkan banyak di antara mereka harus menyaksikan orangtua mereka dibunuh di depan mata.

Aiman Ul-Alam, penerjemah Antara, kaget ketika mendengar sumpah seorang bocah pengungsi berusia 12 tahun yang akan menuntut balas atas kematian orangtuanya yang dieksekusi di depan matanya.

"Mereka bisa menjadi calon-calon militan baru," kata seorang rekan dari Indonesia Humanity Alliance dalam nada khawatir, sembari menunjuk anak-anak Rohingya bertelanjang kaki yang asyik mengerumuni kami.


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017