Kami tidak memaksakan apa yang kami yakini dan sejauh ini warga Jerman merespon dengan baik, kami hanya memberikan warna baru bagi Islam
Frankfurt, Jerman (ANTARA News) - Jerman merupakan salah satu negara sekuler yang berpengaruh di Eropa.

Sebagaimana negara sekuler, artinya negara tidak turut campur mengenai kepentingan agama apapun yang hidup di negeri tersebut, termasuk Islam.

"Secara politis, Jerman adalah negara sekuler, jadi seseorang tidak bisa memperselisihkan sesuatu terkait dengan agamanya," kata Pakar Studi Budaya dan Agama Islam Goethe Universitat Frankfurt Am Main Profesor Bekim Agai.

Namun, perkembangan Islam tidak bisa dipisahkan dari perkembangan negara itu sendiri, terutama pascaperang.

Islam di Jerman pertama kali hadir mulai abad ke-17 lewat jalinan hubungan dengan Kerajaan Ottoman.

Kemudian terus berkembang hingga pada setelah Perang Dunia II, ketika  Jerman membutuhkan banyak sekali tenaga untuk membangun kembali negaranya yang hancur.

Saat itu, berbondong-dondong bangsa Turki datang ke Jerman sebagai guest worker atau pekerja tamu yang diharapkan akan kembali ke tanah airnya setelah bekerja di Jerman.

Kenyataannya, hal itu tidak terjadi, justru mereka membawa keluarganya untuk tinggal di Jerman dan tidak kembali ke Turki.

Berdasarkan data dari Goethe Institut, jumlah Muslim di Jerman pada 1945 hanya 6.000 orang, namun terus meningkat pada 1972 menjadi 500.000 orang dan naik dua kali lipat pada 1976 menjadi 1,2 juta orang.

Saat ini, Muslim asal Turki masih menjadi komunitas terbesar, yaitu menempati 50,6 persen atau 2,2 juta orang dalam komunitas Muslim di Jerman, kemudian diikuti Timur Tengah 17,1 persen atau 774.975 orang, Eropa Tenggara 11,5 persen atau 518.938 orang, Afrika Utara 5,8 persen atau 264.429 orang, Asia Tengah 2,4 persen atau 106.540 orang dan Iran 1,9 persen atau 84.956 orang.

Mengacu pada data Pew Research Center, terdapat 4,8 juta Muslim atau 5,8 persen di Jerman dari total populasi 82,67 juta penduduk, artinya Muslim merupakan kaum minoritas terbesar di Jerman.

Seiring perkembangan zaman, aliran Islam itu sendiri beragam, termasuk Jerman, tempat terdapat berbagai aliran yang hidup secara berdampingan.

Yang terbanyak adalah Sunni, yaitu 74 persen, Alevi 13 persen, Syiah tujuh persen, Ahmadiyah dua persen dan lainnya empat persen.

Karena keberagaman Islam itu pula, masing-masing penganut menginginkan pembelajaran Islam di sekolah sesuai dengan mahzab yang diyakininya selama ini.

Hal itu, menurut Profesor Agai, pihak sekolah seringkali kesulitan dan memfasilitasi seluruh kebutuhan murid-muridnya dalam pembelajaran agama, terutama tenaga pengajar yang sesuai dengan mahzab mereka.

"Karena Jerman adalah negara sekuler, jadi tidak ada hari libur keagamaan di sini, kalau Muslim ingin libur ketika Idul Fitri, maka harus izin ke gurunya. Tetapi, seringkali libur Idul Fitri orang Syiah dengan Sunni berbeda, Alevi beda lagi, Ahmadiyah juga," ujarnya.

Kendati demikian, Agai mengatakan pihak sekolah berusaha memenuhi kebutuhan belajar siswa dan mengajarkan Islam dengan pemahaman secara umum.

"Islam dibedakan karena faktor historis dan geografis, tetapi juga disatukan di satu tempat, seperti di Frankfurt ini," katanya.



Representasi Islam

Profesor Agai mengatakan keberagaman aliran yang dianut oleh Muslim di Jerman, itu lah yang merepresentasukan Islam di Jerman karena berasal dari latar belakang yang berbeda-beda.

"Tidak ada konsep spesifik Islam Jerman karena kami berupaya untuk insklusif (membaur), bukan eksklusif," tuturnya.

Hal yang sama juga disampaikan jurnalis sekaligus penulis tentang Studi Keislaman di Jerman Daniel Bax bahwa cukup sulit untuk mengeneralisisasi Islam di Jerman.

"Siapa yang merepresentasikan Islam di Jerman? Islam yang mana?, karena banyak sekali representasi tentang Islam di sini," ujarnya.

Namun, menurut dia, sebagai negara sekuler, Jerman masih memberikan ruang yang lebih untuk umat beragama melakukan aktivitas dibandingkan dengan negara lain, termasuk aliran Islam liberal.

Kebebasan berkeskpresi bagi umat beragama sah-sah saja asal tidak melanggar hukum dan hak asasi manusi, kata Daniel.

"Tidak ada hak bagi negara untuk intervensi ke urusan agama, ketika terjadi kriminal, polisi baru turun tangan," katanya.

Salah satu aktivis Muslim dari Turki Pinar Cetin menuturkan bersama komunitas yang dipimpinnya Bahira terus merangkul anak-anak muda untuk mengikis paham radikalisme yang sempat mencuci otak sebagian kaum Muslim di sana.

Bahira merupakan proyek kerja sama antara Jaringan Pencegahan Kekerasan Dewan Pusat Muslim di Jerman dengan Asosasi Ditib-Sehitlik Islamischen Gemeinde zu Neukolln.

"Mereka yang pergi ke Suriah menganggap dirinya Islam yang benar, padahal Islam tidak seperti itu," ujarnya.

Pinar mengatakan pendekatan yang dilakukan bukan lah langsung mengajarkan shalat, puasa dan sebagainya, tetapi lebih kepada mengenal Tuhan terlebih dahulu.

"Anak-anak harus dibimbing mengenal Allah terlebih dahulu, mereka harus memahaminya dari hati, baru setelah itu mereka akan sendirinya melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti shalat dan lainnya, namun tetap harus dibimbing," ujar dia.

Sementara itu, Imam Masjid Al Salam NBS Moschee & Kulturzentrum mengatakan pihaknya juga berupaya membangun pemahaman Islam kepada anak-anak Muslim di Jerman dengan mengadakan kelas Bahasa Arab dan mempelajari Alquran.

Ia pun mengajarkan Bahasa Jerman dan pembekalan integrasi budaya bagi para imigran yang baru datang.

"Tetapi kami bukan misionaris, apabila ada yang datang untuk belajar Islam tentu kami terima," katanya.

Di sisi lain, Aktivitas Aliran Alevi atau Alawi di Jerman Kadir Sahih mengaku meskipun mereka memiliki sudut pandang dan cara beribadah yang berbeda, mereka saling menghargai.

"Kami tidak menganggap kami paling benar yang lain salah, komunitas Islam lainnya bebas menentukan cara beribadahnya masing-masing yang diyakininya benar," ujar Dosen Ilmu Politik itu.

Juru Bicara Masjid Ibn Rushd-Goethe Moschee Marlene Lohr mengaku paham yang diajarkan oleh pendiri masjid tersebut, Seyran Ates, itu sangatlah liberal.

Bagaimana tidak, di masjid yang gedungnya menyatu dengan gereja itu tidak mewajibkan bagi wanita untuk menutup aurat ketika shalat dan wanita bisa menjadi imam dan khatib saat khutbah Jumat.

Hal itu tentu dianggap kontrakdiktif dengan ajaran-ajaran Islam yng dianut pada umumnya karena tertulis di Alquran bahwa imam adalah pria dan wanita wajib menutup aurat.

"Kami tidak memaksakan apa yang kami yakini dan sejauh ini warga Jerman merespon dengan baik, kami hanya memberikan warna baru bagi Islam," ujar dia.

Perbedaan adalah anugerah dan toleransi yang membingkainya menjadi indah, namun sedianya harus dipahami bahwa bertoleransi bukan berarti semata-mata membenarkan.

Oleh Juwita Trisna Rahayu
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017