Beijing (ANTARA News) - Bandar Udara Internasional Baoan Shenzhen, Tiongkok, tak ubahnya kebanyakan bandara di kota-kota utama dunia yang lazim memiliki arsitektur bangunan yang menawan, fasilitas pendukung berteknologi canggih dan layanan yang baik.

Di bandara berarsitektur bangunan modern dengan model atap eksterior dan interior terminal mirip sarang madu ini, para penumpang yang tiba pada Senin pagi (16/10) dapat menyaksikan langsung bukti kemajuan Tiongkok berkat kebijakan pintu terbuka Deng Xiaoping.

Pada Senin sekira pukul 06.28 waktu setempat itu, pesawat A320 China Southern Airlines yang ditumpangi Antara mendarat di bandara ini setelah mengarungi angkasa selama sekira lima jam sejak lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, Senin (16/10) dinihari.

Beberapa menit jelang pendaratan, dari balik jendela pesawat bernomor penerbangan CZ 8354 milik maskapai penerbangan terbesar di Tiongkok itu tampak hamparan gedung-gedung pencakar langit dan ruas-ruas jalan raya Kota Shenzhen dan sekitarnya.

Sejumlah kapal kargo pun terlihat tengah lego jangkar di perairan yang tak jauh dari dermaga pelabuhan kota Megapolitan Shenzhen yang sibuk. Sekira 40 tahun silam, Shenzhen hanyalah sebuah desa nelayan berpenduduk sekitar 30 ribu jiwa.

Denyut kehidupan kota yang kini berpenduduk lebih dari 12 juta jiwa itu terasa menggeliat pada Senin pagi itu terlihat dari lalu lalang kendaraan di jalan-jalan raya dan kesibukan lalu lintas manusia di area Bandara Internasional Baoan.

Selain menjadi pintu gerbang utama bagi warga setempat dan asing yang hendak ke Shenzhen, bandara ini juga merupakan titik transit bagi para penumpang yang hendak ke Beijing dan sejumlah kota lain di Tiongkok.

Berada di terminal bandara yang pembangunannya, menurut catatan laman Arch Daily, diarsiteki Massimiliano dan Doriana Fuksas serta menghabiskan biaya sebesar 734 juta Euro ini, wajah modern Tiongkok tampak nyata.

Wajah Shenzhen yang kini begitu metropolis sangat bertolak belakang dengan rupa wilayah ini pada 1960-an. Ketika itu, Shenzhen yang merupakan bagian dari Provinsi Guangdong ini tak lebih dari sebuah perkampungan nelayan yang sumpek dan kumuh. Statusnya hanya kecamatan. 

Saat itu, hanya ada satu gedung berlantai empat dan jalan beraspal di sana. Pendek kata, sebelum tahun 1980-an, Shenzhen bukanlah sesuatu yang menarik dan menjanjikan masa depan bagi warganya.

Gambaran tentang masa lalu Shenzhen itu pernah diungkapkan Mai Tang Yuan, mantan Kepala Biro Kantor Berita China Xinhua di Jakarta, kepada penulis.

Kondisi masa lalu Shenzhen yang demikian terbatas sebagaimana diceritakan Mai Tang Yuan dari pengalamannya tinggal selama tiga bulan di sana pada 1966 itu juga menjadi gambaran yang umum dalam banyak laporan media asing.

Frank Holmes, kontributor Majalah Forbes (2017), misalnya, menulis tentang kondisi Shenzhen sebelum kawasan itu menjadi salah satu zona ekonomi khusus Tiongkok sampai berkembang menjadi pusat teknologi berkelas dunia dan salah satu pusat keuangan global.

Dalam perjalanan sejarah para pemangku Partai Komunis China (PKC) merevitalisasi nilai-nilai ideologi partai berkuasa tersebut pada rakyat Tiongkok, kedudukan Shenzhen juga tak dapat dianggap enteng.

Bahkan, Sekjen PKC yang juga Presiden Tiongkok, Xi Jinping, menjadikan kota megapolitan yang merupakan bagian dari Provinsi Guangdong sebagai tujuan kampanye ideologisnya dalam misi kunjungannya pada Desember 2012.

Pada saat itu, Xi Jinping yang merupakan salah satu figur penting selama Kongres Nasional ke-19 PKC yang dijadwalkan berlangsung sepekan mulai Rabu (18/10) mengingatkan rakyatnya tentang pelajaran penting di balik kehancuran Uni Soviet.

Menurut Suisheng Zhao (Asian Survey, 2016), pelajaran penting yang dimaksud Xi Jinping tersebut berakar dari hilangnya keyakinan ideologis sebagian besar anggota Partai Komunis Uni Soviet.

Untuk menghindari kesalahan yang sama, pakar kajian China Universitas Denver Amerika Serikat ini menyebutkan bahwa Xi Jinping pernah mengusulkan apa yang diistilahkannya sebagai "dua hal yang tak dapat ditolak" (2016:1171).

Kedua hal yang dimaksudkan Xi Jinping tersebut adalah "masa bersejarah setelah reformasi ekonomi (mulai 1978) tak boleh dipakai untuk menihilkan periode bersejarah sebelum reformasi ekonomi."

"Sebaliknya, periode bersejarah sebelum reformasi ekonomi tak boleh digunakan untuk menolak period bersejarah setelah reformasi ekonomi," tulis Suisheng Zhao dalam artikelnya berjudul "The Ideological Campaign in Xis China" itu.


Deng Xiaoping

Dalam konteks ini, posisi Shenzhen tampak mewakili masa permulaan dan setelah reformasi ekonomi Tiongkok dan Xi Jinping mengingatkan rakyatnya dari kota megapolitan ini tentang arti penting sejarah dalam menuju masa depan.

Namun semua hal tentang keunggulan Shenzhen yang kini berstatus special economic zone alias zona ekonomi khusus di China itu tak dapat dilepaskan dari arsitek modernisasi RRC, Deng Xiaoping.

Kebijakan pintu terbuka bagi perdagangan dan investasi asing yang secara konsisten dijalankan pemerintahan Deng di akhir era 1970-an itu telah membawa perubahan penting dalam ekonomi, politik dan budaya negara berpenduduk lebih dari 1,4 miliar jiwa itu.

Berbeda dari kebijakan yang pernah diambil Dinasti Qing di masa lalu misalnya, reformasi Pintu Terbuka itu, menurut pakar masalah China, Yuan Wang, terjadi atas prakarsa politik yang penuh pertimbangan dari pemerintah berdaulat, dan bukan karena apa yang disebut diplomasi kapal meriam.

Pintu Terbuka yang diprakarsai Deng itu merupakan kebijaksanaan yang dilakukan secara sadar dengan dukungan sebagian besar rakyat China. Sukses besar kebijakan itu, menurut analisa Yuan Wang dkk. (2000), adalah keberhasilan Deng mengoreksi kesalahan menyeluruh.

Rakyat China, katanya, menyadari sepenuhnya bahwa modernisasi industri, penerapan berbagai metode pertanian yang maju, dan pembukaan hubungan dagang internasional merupakan satu-satunya jalan bagi negeri itu untuk menjadi modern dan makmur.

Begitulah Shenzhen, Shanghai, Beijing dan daerah-daerah lain di berbagai provinsi di negeri Tirai Bambu itu terus menggeliat sebagai buah dari program modernisasi Deng.

Mulai 1980, pemerintah China menetapkan Shenzhen, Zhuhai, Shantou, Xiamen dan Provinsi Hainan sebagai kawasan ekonomi khusus gelombang pertama.

Empat tahun kemudian, Beijing menambah lagi 14 wilayah ekonomi khusus, yakni kota-kota di sepanjang pantai negara seluas 9,6 juta km persegi itu.

Ke-14 kota dengan status yang sama dengan Shenzhen itu adalah Dalian, Qinhuangdao, tianjin, yantai, Qingdao, Lianyungang, Nantong, Shanghai, Ningbo, Wenzhou, Fuzhou, Guangzhou, Zhanjiang, dan Beihai.

Secara nasional, kesuksesan China di bidang ekonomi antara lain dapat dilihat dari pergerakan nilai ekspor dan impor negara itu. Bahkan, dilihat dari kalkulasi kekuatan militer di dunia, Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) pun kini tak dapat dipandang sebelah mata.

Di periode lima tahun pertama pemerintahan Presiden Xi Jinping pula, Tiongkok memiliki kapal induk kedua buatan asli putera-puteri Tiongkok sendiri setelah kapal induk pertama buatan bekas Uni Soviet yang dimiliki PLA pada 2012.

Capaian modernisasi Tiongkok yang tergambar dari kemajuan Shenzhen dan bidang-bidang lain tak datang dalam semalam melainkan bermula dari program reformasi dan kebijakan pintu terbuka dan melalui proses panjang dan berkesinambungan yang terencana baik. 

Oleh Rahmad Nasution
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017