Jenewa (ANTARA News) - Presiden Amerika Serikat Donald Trump berisiko mendorong Iran ke arah proliferasi (penyebaran) senjata nuklir dan sekaligus memperburuk hubungan dengan Korea Utara, jika AS memutuskan mencampakkan kesepakatan nuklir dengan Iran, kata mantan luar negeri AS John Kerry seperti dikutip Reuters.

Kerry yang merundingkan kesepakatan nuklir 2015 antara Iran dan negara-negara besar, berbicara satu pekan setelah Trump menolak menandatangani kesepakatan nuklir itu dengan alasan Iran tidak taat kesepakatan, justru ketika AS tengah bersitegang dengan Korea Utara menyangkut program senjata nuklir dan peluru kendalinya.

"Jika Anda ingin berunding dengan (pemimpin Korea Utara) Kim Jong-un, dan tujuan Anda adalah menghindarkan perang, dan berusaha mencari resolusi diplomatik, maka hal paling buruk yang bisa Anda lakukan adalah pertama mengancam menghancurkan negara ini lewat PBB," kata Kerry, dalam kuliah umum di Geneva's Graduate Institute.

"Dan yang kedua, mencampakkan kesepakatan yang sudah dibuat karena pesan mereka tidak sejalan dengan AS, mereka tidak memegang kata-katanya," sambung dia.

Kesepakatan nuklir justru menguntungkan AS karena membuat Iran berada dalam tekanan luar biasa, termasuk harus menghadapi pengawasan 24 jam dan bisa melacak setiap ons uranium yang dihasilkannya, kata Kerry.

Menurut Kerry, tak ada manfaatnya membuka konfrontasi dengan Iran karena cara seperti itu malah bisa mendorong Iran bertekad menguasai bom nuklir secepatnya. Seandainya Iran melanggar kesepakatan nuklir pun, sanksi PBB akan bisa menarik kembali Iran ke relnya, sambung dia.

"Mengakhiri kesepakatan nuklir bisa memicu Iran menyembunyikan fasilitas produksi nuklirnya di bawah gunung di mana kita tak bisa melihatnya. Oleh karena itu skenario bahwa Trump menyerang lewat kalimat 'mari kita berangus kesepakatan itu', sama artinya dengan proliferasi (senjata nuklir), yang jauh lebih merusak dan berbahaya," kata Kerry seperti dikutip Reuters.

Dia juga mengecam kebiasaan Trump dalam ber-Twitter.

"Kian banyak orang Amerika yang menganggap fenomena Twitter itu membosankan, menghancurkan dan menghentikan dialog. Saya kira fenomena itu malah menciptakan kekacauan politik yang tak ada bagusnya."

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2017