Mereka ini adalah orang-orang baik dan santun, yang sudah tinggal di sini dengan restu kita dan mendapat izin kerja serta tidak pernah melanggar harapan kita terhadap mereka."
Jakarta (ANTARA News) - Hakim Amerika Serikat, Jumat (20/10), bergelut mempertimbangkan berapa lama ia dapat menunda langkah pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mendeportasi 47 warga Indonesia, menurut laporan kantor berita Reuters, Sabtu WIB.

Reuters menyebut ke-47 imigran itu sebagai orang Kristen Indonesia yang mengungsikan diri dari kekerasan maut di negara itu (Indonesia, red) dua puluh tahun lalu dan telah tinggal secara ilegal di New Hampshire di bawah kesepakatan informal dengan pejabat imigrasi (AS, red).

Kelompok warga Indonesia, itu, lapor Reuters, telah sekian lama diperbolehkan tinggal di negara bagian New Hampshire berdasarkan pengaturan pihak berwenang keimigrasian AS, Immigration and Customs Enforcement (ICE).

Menurut kesepakatan informal di antara kedua pihak, ICE mewajibkan sekelompok warga Indonesia itu menyerahkan paspor mereka dan secara berkala melaporkan diri kepada ICE.

Namun, pengaturan itu berubah setelah Presiden Trump memerintahkan agar ICE mengakhiri pengecualian tersebut. Dengan demikian, sekelompok warga Indonesia itu saat ini harus kembali ke negara, yang disebut Reuters "tempat mereka merasa ketakutan terhadap diskriminasi dan kekerasan".

Hakim tersebut, Kepala Hakim Distrik AS Patti Saris, dalam persidangan pengadilan federal di Boston menyatakan heran karena mengapa hanya satu dari para imigran itu yang memiliki catatan tertulis soal kesepakatan dengan ICE.

Ia mengatakan dirinya akan mempertimbangkan apakah ia memiliki wewenang untuk memberi peluang terakhir bagi para imigran itu untuk memperdebatkan penderportasian.

"Ini adalah kasus yang sulit," kata Saris. "Mereka ini adalah orang-orang baik dan santun, yang sudah tinggal di sini dengan restu kita dan mendapat izin kerja serta tidak pernah melanggar harapan kita terhadap mereka".

Mulai Agustus, sekelompok warga Indonesia itu yang mendatangi kantor ICE untuk melaporkan diri, diminta untuk bersiap-siap keluar dari AS terkait dengan janji kampanye Trump untuk mendeportasi jutaan imigran ilegal.

Para pembela bulan lalu menuntut ICE untuk berhenti melakukan deportasi dan Saris telah memerintahkan agar pendeportasian dihentikan sementara ia memastikan apakah dirinya memiliki wewenang menangani kasus tersebut.

Masalah imigrasi AS biasanya ditangani oleh pemegang kekuasaan eksekutif.

Satu-satunya saksi mata yang hadir pada persidangan Jumat, Timothy Stevens yang adalah petugas pengawasan deportasi ICE, mengatakan kelompok warga Indonesia itu telah diizinkan tinggal di AS setelah mereka mengikuti program "Operation Indonesian Surrender" tahun 2010.

Pada puncaknya, program itu diikuti oleh hampir 100 orang, kendati Steven memperkirakan bahwa warga Indonesia yang masih tinggal di AS di bawah program itu saat ini berjumlah 70 orang.

Steven mengatakan petugas ICE akan selalu memiliki wewenang untuk mendeportasi kelompok warga Indonesia tersebut.

Salah satu dari warga Indonesia, Terry Helmuth Rombot, telah berada dalam penahanan federal sejak ia muncul pada Agustus untuk melaporkan diri.

Para pengacara menyerahkan surat dari ICE kepada Terry, yang isinya menyebutkan bahwa sebagai bagian dari kesepakatan tahun 2010, ia akan diizinkan meninggalkan AS secara "tertib".

"ICE memutuskan bahwa cara paling tertib baginya untuk pergi adalah dengan jalan bahwa kami menyingkirkannya (mendeportasi, red)," kata Steven.

Saris memperlihatkan pandangan yang kabur soal langkah itu.

"Pemerintah telah mengingkari janji," kata Saris. "Itu yang saat ini mengkhawatirkan saya," demikian menurut laporan Reuters.

(Uu.T008)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017