Jakarta (ANTARA News) - Cuaca yang kian panas beberapa tahun terakhir membuktikan fenomena perubahan iklim telah benar-benar terjadi di Jakarta, demikian hasil pantauan yang dilakukan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Suhu di Jakarta pada tahun 1870 adalah 26 derajat Celcius, namun dalam kurun waktu satu abad suhu meningkat 1,4 derajat Celcius. "Dengan kata lain, hingga tahun 2000 suhu Jakarta telah melonjak hingga rata-rata 27,82 derajat celcius," kata Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG Prof. Mezak Arnold Ratag. Rasio kenaikan suhu 1,4 derajat celcius dalam kurun 100 tahun di Jakarta, lanjut Ratag, jauh lebih tinggi daripada rata-rata kenaikan suhu Bumi yang cuma 0,7 derajat. "Selisih tambahan 0,7 derajat celcius ini berarti selain pemanasan global, kenaikan suhu Jakarta juga berkombinasi dengan faktor lain seperti urbanisasi, berkurangnya pepohonan rindang dan lahan aspal yang terlalu dominan," kata dia. BMG memantau kenaikan suhu dalam periode 100 tahun di 20 kota besar di seluruh Indonesia, uniknya, Jakarta bukanlah kota yang mengalami kenaikan suhu tertinggi. "Di Surabaya rasionya 1,5-1,6 derajat Celcius, di Medan bahkan sekitar 1,5-1,9 derajat," ujar Ratag, "Walaupun ada juga kota-kota yang kenaikan suhu rata-ratanya di bawah batas tengah dunia yang 0,7 derajat." Apa yang terjadi bila suhu terus naik dan kota semakin panas? Daerah yang temperaturnya tinggi mempunyai tekanan udara yang lebih rendah, sehingga uap air akan berlomba-lomba menuju ke daerah itu. Dengan sedikit saja gangguan angin, maka turunlah hujan di sana. Fenomena ini terbukti lewat catatan curah hujan Jakarta yang naik 13 persen dalam periode tahun 1900-2000, kata Ratag menjelaskan. Jika pada tahun 1900 rata-rata curah hujan per bulan adalah 319-356 milimeter, kini curah bisa mencapai 500 milimeter dalam satu bulan pada musim penghujan. "Ini juga artinya dengan durasi musim hujan yang sama, curah hujan sekarang jauh lebih banyak daripada 100 tahun yang lalu, sehingga Jakarta lebih cepat terkena banjir," ujar dia. Bila suhu Jakarta jelas meningkat di atas rata-rata dan curah hujan meningkat tajam, Ratag juga memperkirakan gangguan kesehatan yang terkait dengan kerentanan tubuh terhadap suhu bakal sangat menyebar di Jakarta. Lagi-lagi RTH Berbicara tentang kenaikan temperatur Jakarta, ahli tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menjelaskan bahwa telah terjadi kesalahan dalam alokasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta. "Faktor pemanasan global adalah satu masalah, tapi faktor lokal berupa terbatasnya RTH juga merupakan penyebab naiknya suhu Jakarta," kata Yayat. Menurut dia, RTH berfungsi sebagai peredam panas sinar matahari yang sampai ke permukaan Bumi - selain juga sebagai penekan laju polusi udara. "RTH bisa menurunkan suhu sekitar hingga 1-2 derajat Celcius, seperti halnya yang terasa bila kita berada di dalam hutan. Namun tentu saja kemampuan itu sangat ditentukan oleh jenis pohon di RTH, kalau hanya pohon penghias, tentu tidak semaksimal itu," kata dia menjelaskan. Saat ini Jakarta hanya memiliki RTH dengan proporsi 9 persen dari total luas wilayah yang sekitar 65.000 hektar. Angka tersebut masih jauh di bawah ketentuan Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Perkotaan yang mensyaratkan 30 persen RTH, terdiri atas 20 persen milik pemerintah dan 10 persen privat. Alih-alih bertambah, faktanya di lapangan justru ruang terbuka hijau Jakarta terus menyusut dalam 5 tahun terakhir. "Pada tahun 2000 hingga 2005, Jakarta kehilangan 4.000 hektar RTH, terdiri atas 3.500 hektar kawasan resapan air di Jakarta Selatan dan 500 hektar di berbagai wilayah Jakarta akibat perubahan fungsi lahan," kata dia menjelaskan. Berkurangnya RTH disayangkan oleh Yayat, karena untuk menambah 1 hektar saja Pemprov DKI Jakarta sangat kesulitan membebaskan lahan akibat harga tanah yang mahal. "Nilai ekonomis tanah di Jakarta terlalu tinggi, 1 hektar di kawasan Jakarta Pusat misalnya bisa mendatangkan uang hingga Rp3 miliar per tahun untuk Pemprov DKI Jakarta lewat pajak, retribusi, dan reklame," ujarnya, "Sehingga sulit rasanya mengalokasikan lahan untuk dijadikan sekedar taman, jika bisa mendatangkan uang banyak sebagai tempat usaha atau tempat tinggal." Yayat menegaskan bahwa kepentingan ruang terbuka hijau sebagai jalan mengurangi kenaikan suhu Jakarta terbentur oleh rasio ekonomi pendapatan Pemprov, sehingga bila tanah dialihkan fungsinya menjadi taman itu berarti pendapatan Pemprov akan berkurang. Target RTH 30 persen di Jakarta, masih menurut Yayat, hanya akan terwujud bila ada kebijakan yang sangat ekstrim seperti membeli tanah yang sangat luas - atau menggarap lahan tidur - dan memberikan insentif besar-besaran kepada mereka yang bisa menambah RTH kota. Utamakan Adaptasi Hasil pemantauan BMG terhadap kenaikan suhu di berbagai kota di Indonesia akan diluncurkan secara resmi pada bulan September 2007 mendatang, memanfaatkan momentum pertemuan akbar COP ke-13 UNFCCC (Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim) di Bali, Desember. "Lewat hasil pemantuan ini kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia sudah benar-benar terimbas perubahan iklim, bukan hanya hitung-hitungan perkiraan tapi ril," kata Ratag menegaskan. Menurut dia, dampak-dampak buruk dari perubahan iklim terus akan dialami oleh Indonesia, tapi dana adaptasi masih saja tidak ada. Konsep Protokol Kyoto, lanjut Ratag, hanya mengutamakan pengurangan emisi karbon negara-negara maju tapi tidak memperhatikan secara khusus alokasi dana adaptasi buat negara berkembang, yang lebih parah terimbas perubahan iklim. "Perhatian harus dialihkan dari mitigasi penurunan emisi karbon ke dana adaptasi buat negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena dampak buruk perubahan iklim terjadi saat ini juga tidak menunggu hingga emisi berhasil diturunkan," kata dia. Di sisi lain Yayat juga mendesak agar sektor transportasi sebagai sumber emisi karbon terbanyak di Jakarta turut bertanggungjawab atas kenaikan suhu kota. "Tiap tahunnya para produsen motor dan mobil haya mengumumkan target penjualan mereka, tanpa bisa menunjukkan upaya penghijauan kota yang sepadan," kata Yayat. Ia menjelaskan bahwa selain menambah ruang terbuka hijau, Pemprov DKI Jakarta juga bertugas membenahi sektor transportasi, jika ingin temperatur kota tidak terus melonjak naik. "Pemprov harus memperhatikan aspek pengendalian moda transportasi pribadi, sembari memperbaiki transportasi umum yang harus dibuat nyaman, aman, dan tepat waktu," katanya.(*)

Pewarta: Oleh Ella Syafputri
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007