Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Fraksi Partai Golkar di MPR RI, Hajriyanto Y Thohari, di Jakarta, Kamis malam, mengatakan, agar konflik antar aparat TNI versus Polri bisa diminimalisasi, ke depan harus ada penataan kembali peran TNI dan Polri sekaligus memosisikan keduanya secara setara. "Saya mengusulkan untuk dilakukannya reformasi ulang beberapa undang-undang (UU) di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam), seperti UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI," katanya kepada ANTARA, menanggapi bentrok fisik pasukan TNI versus anggota Polri di Ternate, Senin awal pekan ini. "Adalah terlalu simplistis jika bentrok fisik dan senjata antara pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat dan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Ternate dan di tempat-tempat lain sebelumnya dikatakan sebagai semata-mata karena faktor kesejahteraan yang rendah," ulas politisi muda yang sehari-harinya bertugas juga di Komisi I DPR RI. Sebelumnya, kepada pers Menteri Pertahanan (Menhan) RI, Yuwono Sudarsono meminta Panglima TNI, Djoko Suyanto memperhatikan kesejahteraan para prajurit tingkat bawah. "(Ini penting) untuk cegah konflik terus berulang," kata Yuwono Sudarsono. Bagi Hajriyanto Thohari dkk di Komisi I DPR RI, ada sesuatu yang lebih fundamental dari sekedar soal kesejahteraan. "Pasalnya, bukan hanya gaji TNI dan Polri yang belum mencukupi untuk hidup sejahtera. Gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan karyawan lainnya juga masih jauh dari ukuran kesejahteraan, tapi tokh tidak ada konflik fisik di antara mereka. Walhasil faktor kesejahteraan hanyalah sekunder dalam ketegangan antara TNI dan Polri!," tegasnya. Merasa Tersingkirkan Hajriyanto Thohari menjelaskan juga, hubungan TNI dan Polri pasca-pemisahan secara kelembagaan di antara keduanya memang mengandung tension yang bersifat laten. "Ini berakar dari sejak dipisahkannya keduanya secara kelembagaan, tetapi kemudian keduanya tidak diposisikan secara sejajar oleh undang-undang. Polri yang dulu merupakan "adik terkecil" dari TNI yang selalu dinomorduakan, setelah pemisahan menjadi lebih superior secara perundang-undangan," ungkapnya. Alasannya, pertama, Polri langsung di bawah Presiden RI, sementara TNI di bawah Menteri Pertahanan. Kedua, lanjutnya, dalam era reformasi, Polri dituntut untuk selalu hadir (omnipresent) di tengah-tengah dinamika masyarakat. "Posisi ini membawa implikasi politik dan material terhadap Polri. Sementara TNI karena tugas pokoknya adalah di bidang pertahanan, menjadi kurang hadir (omnipresent) di tengah-tengah masyarakat, kecuali pada saat perang. Ini menjadikan peran TNI seakan-akan tersingkirkan oleh peran Polri," kata Hajriyanto Thohari. Kedua hal tersebut, menurutnya, mengakibatkan ada semacam ketidakrelaan, bahkan kecemburuan antara keduanya, yang pada gilirannya menimbulkan ketegangan (tension). "Tidak mengherankan apabila kemudian ketegangan itu menjadi eksplosif dan mudah meledak setiap ada faktor picu di antara keduanya. Bahkan karena soal yang sangat sepele saja, telah cukup untuk mengakibatkan konflik fisik yang berskala masif antara TNI dan Polri," jelasnya. Dalam kaitan ini, Hajriyanto Thohari mengusulkan, harus ada penataan kembali peran TNI dan Polri sekaligus memosisikan keduanya secara setara. "Seperti saya jelaskan di atas, saya mengusulkan untuk dilakukannya reformasi ulang beberapa undang-undang di bidang pertahanan dan keamanan, seperti UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pertahanan, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI," tambahnya. Di samping itu juga, demikian Hajriyanto Thohari, harus segera dibentuk UU tentang Perbantuan yang mengatur bagaimana TNI memberikan bantuan kepada tugas-tugas Polri. Sebaliknya, bagaimana Polri memberikan bantuan bagi tugas-tugas TNI. "Reformasi perundang-undangan ini menjadi sangat penting dan urgent jika kita ingin benar-benar mewujudkan hubungan TNI dan Polri yang sehat. Inilah langkah-langkah fundamental yang harus kita lakukan sekarang ini," ujarnya. Bangsa dan negara ini, kata Hajriyanto Thohari, membutuhkan TNI dan Polri yang solid dan kompak, tidak ada kecemburuan dalam bentuk apapun di antara keduanya. "Hubungan TNI dan Polri tidak boleh mengandung sikap superioty complex atau sebaliknya inferiority complex di antara keduanya. Keduanya harus setara, sejajar, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang," ujar Hajriyanto Y Thohari.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007