Jakarta (ANTARA News) - Sidang uji materiil UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang diajukan oleh delapan anggota DPR memasuki agenda mendengar keterangan dari rekan mereka sendiri, yaitu pihak DPR. Selain mendengar keterangan DPR sebagai pihak pembentuk UU Migas, sidang yang menurut rencana digelar pada pukul 10.00 WIB di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu, juga akan mendengar keterangan ahli dari pemohon. Delapan anggota DPR yang menjadi pemohon uji materiil UU Migas adalah Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Drajad Wibowo, dam Tjatur Sapto Edy. Mereka diwakili oleh kuasa hukum mereka, Januardi S Haribowo. Para pemohon mempermasalahkan aturan dalam UU Migas, yaitu pasal 11 ayat 2 yang dinilai membatasi peranan serta keikutsertaan DPR dalam kontrak kerjasama bidang migas yang dibuat pemerintah dengan pihak ketiga. Pasal 11 ayat 2 UU Migas mengatur bahwa setiap kontrak kerjasama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR. Menurut para pemohon, aturan itu bertentangan dengan UUD 1945, karena menyebabkan Pemerintah, dalam hal ini BP Migas, hanya wajib memberitahukan kepada DPR setiap Kontrak Kerja Sama (KKS) atas bagi hasil eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dibuat dengan pihak ketiga, terutama kontraktor asing. Padahal, KKS tersebut memberikan pendapatan negara yang besar dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan ditiadakannya peran DPR untuk ikut serta dalam KKS itu, maka para pemohon mengklaim telah kehilangan hak konstitusional mereka untuk memberikan persetujuan atau untuk menolak memberikan persetujuan atas perjanjian KKS tersebut. Para pemohon mendalilkan pasal 11 ayat 2 UU Migas yang meniadakan peran DPR dalam persetujuan KKS itu bertentangan dengan pasal 20A ayat 1 dan pasal 33 ayat 3 dan 4 UUD 1945. Pada sidang sebelumnya, 19 September 2007, pihak pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro telah memberi keterangan. Dalam keterangannya, Menteri ESDM menyatakan KKS atas bagi hasil eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang dibuat pemerintah melalui BP Migas dan kontraktor asing merupakan ranah hukum perdata, sehingga tidak termasuk dalam bentuk perjanjian internasional yang harus mendapatkan persetujuan DPR seperti yang diamanatkan dalam pasal 11 UUD 1945. Pemerintah justru menganggap para pemohon dalam kedudukan mereka sebagai anggota DPR bersikap ambigu dan tidak konsisten, karena mereka mempermasalahkan produk UU Migas yang mereka buat sendiri. (*)

Copyright © ANTARA 2007