Jakarta (ANTARA News) - Penempatan personel Badan Intelijen Negara (BIN) atas permintaan lembaga tersebut di BUMN merupakan hal yang sangat lazim. Mantan Menteri Keuangan (Menkeu) Rizal Ramli saat memberi keterangan sebagai saksi meringankan bagi terdakwa pembunuhan berencana terhadap Munir, Indra Setiawan, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat, mengatakan permintaan BIN sangat biasa sekali dan tidak mungkin ditolak. "Itu sangat biasa sekali, BIN sebagai organisasi intelejen sering minta bantuan untuk memasukkan personelnya demi pekerjaan intelijen dan `sekuriti ," tuturnya. Bahkan, lanjut Rizal, BIN juga merekrut pejabat negara tertentu untuk menjadi anggota intelejen yang memasok data serta informasi demi kepentingan intelijen. Namun, ia menambahkan dirut BUMN itu bisa jadi tidak pernah tahu tentang operasi intelejen yang dijalankan personel BIN itu di perusahaan yang dipimpinnya. Saat Rizal menjabat Menkeu dalam kurun 2000-2001 belum ada kementerian BUMN, sehingga seluruh BUMN masih berada di bawah pengawasan menkeu melalui ditjen BUMN. Rizal mengetahui adanya pejabat negara tertentu yang juga menjadi anggota BIN melalui cerita dari pejabat tersebut. "Saya tahulah yang bersangkutan direkrut, jadi saya kira sangat lazim intelejen negara untuk rekrut pejabat atau warga negara sipil untuk agen, setengah agen, atau penasehat," tuturnya. Namun, di depan persidangan, Rizal tidak menyebutkan identitas pejabat yang ia ketahui. "Untuk secara spesifik, saya tidak bisa kasih contoh karena intelejen sifatnya tertutup," ujarnya. Usai menjabat Menkeu, Rizal menuturkan ia sendiri ditawari langsung oleh Kepala BIN saat itu untuk menjadi penasehat ekonomi BIN secara rahasia. "Saya tahu honornya besar, tetapi saya bilang saat itu, tidak, terima kasih. Karena itu bertentangan dengan prinsip akademik saya," ujarnya. Permintaan BIN untuk menempatkan personel di BUMN, menurut Rizal, bisa melalui surat permohonan yang ditembuskan kepada menkeu atau meneg BUMN, dan bisa juga tidak. Namun, ia tidak memungkiri bisa saja personel BIN itu langsung membawa surat tersebut kepada dirut BUMN. Tak laporkan Dirut BUMN, kata Rizal, selanjutnya berwenang melaksanakan permintaan itu tanpa melaporkannya kepada menkeu atau meneg BUMN sebagai atasan langsungnya. Pejabat negara, kata Indra, tidak mungkin menolak permintaan instansi negara lainnya. "Sebagai birokrat, bisa repot kalau ditolak," ujarnya. Ia mencontohkan, saat menjadi Menkeu sering menerima permintaan TNI untuk bantuan transportasi, dan sebaliknya Depkeu juga sering meminta pertolongan TNI apabila membutuhkan helikopter atau pesawat. "Kalau sudah dengar kata ABRI (TNI, red) atau intelejen, pejabat negara pasti takut dan dilaksanakan," ujarnya. Sebagai teman kuliah Indra Setiawan, dan bahkan pernah berbagi kamar di asrama, Rizal mengaku sangat mengenal karakter Indra. "Dengan kepolosannya, bisa saja dia melakukan permintaan instansi negara lain tanpa memperkirakan akibatnya," ujarnya. Mantan Diirut Garuda Indonesia, Indra Setiawan, didakwa membantu pembunuhan berencana terhadap Munir, karena mengeluarkan surat penugasan Pollycarpus Budihari Priyanto di unit aviation security Garuda. Surat penugasan dibuat oleh Indra karena adanya surat permohonan dari BIN yang ditandatangani Wakil Kepala BIN, As`ad untuk menempatkan Pollycarpus di unit aviation security Garuda. Menurut dakwaan penuntut umum, pada Juni 2004, Pollycarpus menyerahkan sendiri surat itu kepada Indra di Hotel Sahid Jaya. Namun, Pollycarpus membantah semua dakwaan penuntut umum dan keterangan Indra Setiawan. Surat penugasan Pollycarpus dari BIN itu raib dari tas Indra pada Desember 2004 saat mantan Dirut Garuda itu shalat Jumat di Hotel Sahid Jaya. (*)

Copyright © ANTARA 2008