Jakarta (ANTARA News) - Setelah mantan Presiden Soeharto meninggal pada Minggu (27/1), maka terus bermunculan sikap pro dan kontra terhadap sikap dan kebijakan yang dilakukannya selama 32 tahun (1966-1998) pemerintahannya. Ketua Umum Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi, misalnya, mengatakan bahwa masyarakat perlu memaafkan jenderal besar berbintang lima itu, walaupun pada masa pemerintahan Soeharto, organisasi kemasyarakatan berbasis Islam tersebut tidak mendapat apa-apa. Namun, orang-orang yang mengaku sebagai aktivis penegak Hak Azasi Manusia (HAM) masih menganggap keluarga Soeharto beserta kroni-kroninya harus tetap dibawa ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan tingkah laku mereka saat Soeharto masih berkuasa hingga menyatakan berhenti dari jabatan Presiden RI pada 21 Mei 1998. Sekalipun banyak umat Islam yang menyatakan bahwa Soeharto sering tidak menampung aspirasi umat Islam, termasuk partai politik (parpol) berazaskan Islam, tapi banyak peran Presiden RI kelahiran Kemusuk Yogyakarta pada 8 Juni tahun 1921 itu dalam perkembangan ke-Islaman. Sebut saja lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia(ICMI) belasan tahun lalu dengan Ketua Umum yang pertama adalah Bacharuddin Jusuf Habibie. Hal itu tidak bisa lepas dari dukungan dan persetujuan Soeharto. Sementara itu, pembangunan ratusan mesjid di semua provinsi yang dilaksanakan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YAMP) juga merupakan salah satu buah karya Soeharto. Sementara itu, bagi sektor mikro atau bagi perseorangan, banyak orang yang bisa merasakan nikmat, termasuk ketika Soeharto menghajikan karyawan-karyawan di lingkungan kepresidenan hingga tukang baso atau tukang ketoprak yang mencari nafkah di sekitar Jalan Cendana Nomor 6 dan 8, Jakarta Pusat, tempat tinggal Soeharto sekeluarga selama puluhan tahun. Pada Oktober tahun 1995, Soeharto dan Ibu Tien melaksanakan kunjungan ke luar negeri, termasuk Arab Saudi untuk melaksanakan ibadah umroh, sekalipun beberapa tahun sebelumnya keluarga Cendana sudah melaksanakan ibadah haji. Seperti biasa, rombongan kepala negara itu, antara lain mencakup menteri dan pejabat tinggi, petugas protokol, serta keamanan hingga puluhan wartawan yang biasa meliput acara-acara kepresidenan. Pada 31 Oktober tahun itu, bagi semua anggota rombongan umroh tersebut agaknya menjadi saat yang tak akan bisa dilupakan seumur hidup. Setelah ibadah umroh, seperti mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali dan mencium Hajar Aswad, tiba-tiba anggota rombongan, termasuk wartawan mendapat kabar bahwa seluruh anggota rombongan Soeharto bisa masuk ke dalam Kabah, satu hal yang sangat langka. Kesempatan itu jarang diberikan, karena tidak semua orang bisa masuk ke dalam Kabah, termasuk orang-orang Arab Saudi. Peluang emas ini biasanya hanya bisa dinikmati oleh kepala negara atau kepala pemerintahan dan rombongan yang dihormati pemerintah Kerajaan Arab Saudi atau tokoh-tokoh umat Islam. Begitu mendengar bahwa rombongan bisa masuk ke Kabah, maka anggota rombongan diminta mendekat ke tempat suci itu. Hal yang sempat menjadi pertanyaan saat itu adalah apakah semua anggota rombongan bisa masuk atau tidak, karena sangat terbatasnya waktu yang diberikan pemerintah dan pengelola Kabah. Kesempatan pertama tentu saja diberikan kepada Soeharto, Ibu Tien serta anak-anaknya. Kemudian, para menteri dan pejabat tinggi, serta baru tahap ketiga adalah bagi petugas serta wartawan. Namun, suasana persaingan menjadi semakin ketat karena sekali pun rombongan Indonesia itu sudah dijaga ketat oleh tentara Saudi, ada saja beberapa orang Arab Saudi yang berhasil menyelinap ked alam rombongan. Pengaturan masuk ke dalam Kabah pun dilakukan oleh petugas serta tentara Saudi. Untuk masuk ke dalam tempat suci tersebut telah tersedia tangga yang terbuat dari tali yang terus bergoyang ketika diinjak. Akhirnya tiba kesempatan bagi wartawan untuk berebutan masuk Kabah sambil mengenakan pakaian ihram. Ruang dalam Kabah gelap, sehingga orang yang melangkah masuk bisa langsung menginjak orang yang sedang shalat di sana. Begitu masuk ke dalam tempat yang sangat sakral itu, para wartawan langsung melakukan shalat sunnah dan kemudian berdoa pada kesempatan yang sangat langka ini. Tapi, belum berapa lama, para petugas kemudian memberikan tanda agar rombongan yang ada di dalam segera ke luar, karena masih ada rombongan lain yang belum mendapat giliran. Peristiwa bersejarah ini berlangsung sekitar pukul 01.30 Waktu Saudi atau sekitar 04.30 WIB. Begitu keluar dari Kabah, semua anggota rombongan terlihat tidak bisa mengendalikan emosinya dengan menitikkan air mata, karena menyadari bahwa mereka baru saja mendapatkan kenikmatan yang tidak sembarang orang bisa merasakannya. Setiap tahun, tidak kurang dari dua juta orang melaksanakan ibadah haji, namun hanya beberapa ratus orang yang mendapat izin memasuki Kabah. Peristiwa masuk ke dalam Kabah itu tidak akan pernah bisa hilang dari ingatan anggota rombongan Soeharto itu. Bahkan, setelah itu, para wartawan sempat berfoto bersama dengan latar belakang Kabah, padahal dalam keadaan biasa hal itu terlarang dan petugas keamanan Saudi segera bertindak ketika melihat ada orang berfoto di sana. (*)

Oleh Oleh Arnaz Ferial Firman
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008