Jakarta (ANTARA News) - Wacana pemindahan ibukota negara ke kawasan khusus yang berada di luar DKI Jakarta kembali mencuat, menyusul bencana banjir yang melanda Jakarta pada 1 Februari. Banjir yang melanda sebagian kawasan DKI Jakarta itu melumpuhkan jalan masuk dan keluar Bandara Internasional Soekarno-Hatta, sehingga "pintu gerbang" bagi wisatawan asing tu ditutup selama dua hari. Penutupan Bandara Soekarno-Hatta akibat banjir dinilai mencoreng nama Indonesia di mata internasional, di tengah kampanye "Visit Indonesia Year 2008". Ketidakmampuan pemerintah, khususnya Pemprov DKI Jakarta, dalam menangani persoalan banjir kemudian banyak dipertanyakan, mengingat persoalan itu kini menjadi bencana tahunan bagi warga Jakarta. Banjir yang melanda Jakarta itu bahkan sempat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasakan dampaknya secara langsung. Iring-iringan mobil kepresidenan yang baru tiba dari kunjungan kerja ke Kabupaten Karawang, Jabar, tidak bisa menembus protokol Jalan MH Thamrin, Jumat (1/2), ketika mereka tiba di depan pertokoan Sarinah. Akibatnya, Presiden pun harus pindah dari mobil yang ditumpanginya ke mobil lainnya. Mobil sedan yang sebelumnya ditumpangi Presiden itu pun akhirnya harus diderek ke Istana karena tidak bisa melanjutkan perjalanan. Kondisi seperti itu kemudian memunculkan banyak penilaian tentang kondisi Jakarta yang tidak lagi layak sebagai sebuah ibukota. Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Tjahjo Kumolo, mengatakan kalau Jakarta masih ingin dipertahankan sebagai ibukota negara RI, seharusnya perencanaan dan pembangunannya diambil alih oleh pemerintah pusat, kendati pengelolaannya tetap di tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kalau kondisi Jakarta sudah sulit berubah secara drastis, kata Tjahjo, maka harus cepat dicari alternatif ibukota pemerintahan baru, yang setidaknya jauh dari masalah banjir "kronis" dan kemacetan "akut". Harus Dibedakan Senada dengan itu, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal daerah pemilihan DKI Jakarta, Sarwono Kusumaatmadja, mengemukakan Jakarta sebagai ibukota negara harus dibedakan dengan Jakarta sebagai pusat pemerintahan. Menurut Sarwono, Jakarta sebagai ibu kota negara dapat tetap dipertahankan, namun pusat pemerintahannya tidak lagi memungkinkan untuk dipertahankan karena beban Jakarta makin kompleks. Kawasan khusus di luar Jakarta sebagai pusat pemerintahan merupakan kompleks perkantoran pemerintah yang dilengkapi dengan hunian terbatas untuk rumah-rumah dinas pejabat. Untuk menuju kawasan ini dari ibukota Jakarta, kata Sarwono, harus disediakan akses khusus, misalnya monorel atau kereta bawah tanah. Pemerintah pusat juga perlu memikirkan perencanaan kawasan megapolitan yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur. Argumentasi tersebut juga sejalan dengan pendapat Ketua Umum Lembaga Konsumen Jasa Konstruksi, Bambang Pranoto, yang menilai bahwa tata ruang Jakarta sudah tidak terselamatkan, sehingga apapun upaya yang dilakukan untuk mengendalikan banjir tidak ada artinya kecuali mengembalikan seperti semula dengan biaya sangat mahal. "Satu-satunya jalan keluar agar hubungan Indonesia dengan dunia internasional tetap terjalin adalah dengan memindahkan ibukota," katanya. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa jika terjadi curah hujan tinggi, ibukota Jakarta sudah lumpuh, bandara ditutup, akses jalan tol menuju bandara putus. Padahal kawasan-kawasan ini merupakan obyek vital yang harus dijaga kelangsungannya, katanya. Volume banjir yang terjadi di Jakarta tidak akan teratasi dengan teknologi kostruksi apapun, akibat penyimpangan tata ruang yang sudah parah. Penyimpangan itu berbentuk perubahan tata guna lahan, dilanggarnya ketentuan lingkup bangunan (building coverage) sehingga menghilangkan daya serap tanah terhadap air hujan. Kemudian muncul pula disorientasi tata ruang ego wilayah yang mengakibatkan adanya istilah "banjir kiriman". Di Jakarta, dua per tiga luasannya sudah menjadi obyek banjir, sementara laju pembangunan prasarana banjir sama sekali tak seimbang dengan usaha menghindari dan menanggulanginya. "Jakarta akan tenggelam dan itu bisa dihitung kapan terjadi," kata Bambang. Tempat yang diangggap layak Munculnya ide pemindahan Ibukota Jakarta berlanjut pada usulan tempat yang dianggap "pantas" menjadi Ibukota Republik Indonesia. Sejumlah tempat pun disebut-sebut layak menggantikan DKI Jakarta. Usulan itu antara lain adalah wilayah Kalimantan Tengah yang pernah diusulkan Bung Karno pada 1953, serta Jonggol, Jawa Barat, yang pernah digagas pada masa Orde Baru. Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Sugeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, mengusulkan ibukota RI dipindahkan ke Jayapura, Papua, dengan alasan pemikiran geo strategis dan geo politik, mengingat Jayapura merupakan sebuah kota di bibir Pasifik. "Jadi, langsung menghadap ke Samudera Pasifik. Ini secara geopolitik, posisinya langsung di Pasifik Barat (ke Asia Timur, Australia, New Zealand) dan tinggal `nyeberang jika mau ke Amerika Serikat," katanya. Usulan lainnya dilontarkan anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) DPR Al Muzzammil Yusuf yang menyebut kawasan Sumatera, khususnya Provinsi Lampung, layak dipertimbangkan menjadi ibukota negara karena kedekatan jarak dengan Jakarta dan relatif mudah dibenahi tata kotanya. Muzzammil mengatakan, jika ide pembangunan jembatan Merak-Bakauheuni jadi direalisasikan maka hanya dibutuhkan waktu tempuh dua jam dari Jakarta menuju Lampung. Selain itu, jarak tempuh melalui jalur udara pun hanya sekitar 30 menit. Pemindahan ibukota negara dari Jakarta sebenarnya bukanlah hal yang baru. Ibukota Republik Indonesia pernah beberapa kali pindah antara tahun 1945-1950, yakni dari Jakarta ke DI Yogyakarta, lalu ke Bukittinggi, Sumatera Barat, sebelum dipindahkan lagi ke Jakarta. Pada masa penjajahan Belanda dulu, Bogor juga pernah menjadi tempat gubernur jenderal dan Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat dagang. Sejumlah negara pun pernah memindahkan ibukotanya dengan berbagai alasan. Beberapa negara juga memisahkan pusat pemerintahan dengan pusat bisnis. Pusat pemerintahan AS berada di Washington, dengan pusat bisnis di New York, sedangkan pusat pemerintahan Malaysia berada di Putrajaya, dengan pusat bisnis di Kuala Lumpur. (*)

Pewarta: Oleh Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2008