Greg Sheridan, editor meja sunting internasional The Australian, Kamis (14/2), menulis analisis peran seharusnya Australia di Timor Leste. Bagian paling sensasional dari tulisannya adalah rekomendasi Dewan Keamanan Nasional Australia (NSC) untuk membunuh Mayor Alfredo Reinado pada Februari 2007. Pada 4 Maret 2007, sebulan setelah NSC rapat menentukan nasib Alfredo, pasukan khusus Australia --Special Air Service (SAS)--dengan beberapa helikopter Black Hawk menyisir sebuah hutan dimana Alfredo bermarkas, tetapi meski berhasil membunuh empat pemberontak, si Mayor dan sebagian besar anak buahnya berhasil melarikan diri. Greg menggarisbawahi kegagalan itu sebagai buah dari sikap percaya diri berlebihan tentara Australia yang menganggap remeh Alfredo. Sikap ini sebenarnya adalah refleksi dari sikap umum Australia terhadap Timor Leste dalam segala hal. Mengenai sikap angkuh dan suka main gertak dari Australia ini sudah menjadi cerita sehari-hari warga Timor Leste, bahkan anak Ramos Horta --Loro Horta-- yang sedang studi program doktor di Universitas Nanyang, Singapura, menyindir arogansi tentara Australia dalam satu tulisan berjudul "Aussies outstay their East Timor welcome" ("Australia tinggal lebih lama dari yang diizinkan Timor Leste"). Setelah digerebek SAS, Alfredo yang didikan akademi militer Australia itu berbalik memusuhi tuannya, sekaligus berpaling dari Xanana Gusmao yang dipujanya. Ia merasa, Perdana Menteri Xanana yang menguasakan penggerebekan itu sama berbahayanya dengan Fretelin yang juga ia musuhi. Orang yang kini diharapkannya mendengar adalah Ramos Horta. Presiden peraih Nobel Perdamaian ini pula yang meminta Australia berhenti memburu Alfredo, sebaliknya membujuk si Mayor "bengal" untuk duduk berdiskusi menyelesaikan sengketa. Sampai kemudian terjadi upaya pembunuhan Presiden Ramos Horta dan PM Xanana, Senin (11/2), yang justru membuat Alfredo tewas menyisakan teka-teki yang menyeret rakyat Timor Leste ke kesalingcurigaan kembali. "Ia turun gunung untuk menuntaskan sesuatu. Saya yakin seratus persen ia tak berencana membunuh Presiden (Ramos Horta)," kata ayah Alfredo, Vitor Alves seperti dikutip The Australian (15/2). Tuduh menuduh pasca `Senin berdarah` itu pun terlontar menyesaki kepala seluruh rakyat Timor Leste yang sudah pening oleh kemelaratan. Xanana yang juga menjadi sasaran pemberontak termasuk yang dituduh terlibat dalam aksi Alfredo itu. Tawaran rekonsiliasi pada Alfredo kabarnya tak dikonsultasikan dengan Xanana karena itu inisiatif Ramos Horta yang dikenal anti kekerasan itu. "Banyak hal yang telah dibicarakan bersama Ramos Horta dan Alfredo tanpa sepengetahuan Xanana," kata seseorang bernama Leidari, aktivis HAM di Bidau, Dili, dalam Timor Online (14/2). Rumor juga mengembuskan bahwa Reinado telah dibimbing masuk ke Dili oleh pihak ketiga yang menginginkan pemerintah Ramos-Xanana tumbang. Sophia Cason, analis International Crisis Group di Dili menyatakan, Alfredo cs `dibeking` elemen-elemen terkuat elite politik Timor Leste. "Siapa yang membelikan senjata, kendaraan militer, dan membayar tagihan telepon mereka?" kata Sophia seperti dikutip Australian Financial Review (14/2). Siapa yang dimaksud Sophia? "Hanya Fretelin yang diuntungkan jika Presiden dan PM Timor Leste terbunuh," kata The Australian seolah menjawabkan pertanyaan Sophia. Ironisnya, mantan PM Mari Alkatiri yang dedengkot Fretelin justru menuntut penjelasan pihak keamanan asing, "UNMIT (Misi Menyeluruh PBB untuk Timor Leste) dan Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas keamanan negara kita saat ini. Kami menuntut keterangan bagaimana penyusupan keamanan bisa terjadi." Alkatiri tampak mengarahkan tuduhan ke Australia. Tak dinyana, Panglima Angkatan Bersenjata Timor Leste Brigadir Jenderal Taur Matan Ruak mengamini tuntutan itu. Seperti dikutip Sidney Morning Herald (13/2), Matan Ruak mendesak diadakannya satu investigasi menyeluruh guna menjelaskan bagaimana para buron yang wajahnya dikenali baik seantero Timor Leste itu bisa sampai di rumah dua pejabat tinggi negara, padahal Dili dijaga rapat pasukan internasional, termasuk ISF pimpinan Australia. Lagi, kalimat berhenti di kata Australia. Australia boleh mengelak, tetapi kehadirannya di Timor Leste sejak 1999 adalah kondisi yang membuatnya sulit disebut tidak berkepentingan dalam proses politik di negara termuda itu. Fakta bahwa Timor Leste tak kunjung stabil menuai asumsi bahwa Australia membiarkan kekacauan terjadi sehingga Timor Leste lupa membicarakan hal krusial seperti minyak Laut Timor. Sejumlah laporan malah mengungkap para pemimpin ke dua negara kerap bersitegang kalau sudah menyangkut minyak di Laut Timor. Itu tak hanya Alkatiri, tapi juga Xanana, bahkan Ramos Horta. Celah Timor Australia di bawah PM John Howard pernah jengkel setengah mati pada Alkatiri karena politisi senior keturunan Arab ini menuntut renegosiasi bagi hasil eksplorasi minyak sehingga mengancam keuntungan Australia. Konon, jatuhnya Alkatiri dari pemerintahan pada 2006 yang menjadi prolog untuk sebuah pemilu yang dipercepat, tak lepas dari skenario Australia. Tidak heran, sampai sekarang Fretelin dan Alkatiri masih dendam pada Australia. Mereka juga menganggap Xanana turut mengaransemen kejatuhan mereka sehingga pemerintahan sekarang dianggap tak lebih dari perpanjangan tangan asing. Keyakinan ini tertanam dalam-dalam pada rakyat Timor Leste yang memang gampang terprovokasi, bahkan Alfredo Reinado yang membenci setengah mati Fretelin pun berbalik memusuhi Xanana. Australia juga tak menyukai Alkatiri dan Fretelin karena mereka kiri. Alasan kiri pula yang membuat Australia --juga Amerika Serikat--memprovokasi Indonesia untuk menginvasi Timor Timur pada 1975. Alasan sejatinya, Australia menyimpan cinta ke minyak Laut Timor tapi kandas terhalang penguasa kolonial Portugis yang kiri, terutama dalam menentukan batas di Laut Timor. Ketika Portugis keluar dari Timtim pada 1975 dan Indonesia mengintegrasikan wilayah itu sebagai provinsi ke-27, Dubes Australia di Jakarta Richard Woolcott mengirim telegram rahasia ke pemerintah pusat di Canberra. "Soal batas laut yang tertunda itu akan lebih bisa dirundingkan dengan Indonesia ketimbang dengan Portugal atau Timor Portugis yang merdeka," kata Richard seperti terungkap dalam Majalah Prancis, Le Monde Diplomatique, edisi Desember 2004. Hasrat Australia ke Laut Timor pun tersalurkan, namun tak seperti ke Timor Leste sekarang, Indonesia bukan mitra yang bisa dibodohi. "Akan lebih gampang `mengibuli` negara kecil yang lemah daripada berhadapan dengan negara besar berpenduduk keempat terbanyak di dunia (Indonesia)," kata novelis, jurnalis dan pembuat film dokumenter, Andre Vltchek dalam artikel "East Timor: Australia's Shame". Australia pun berusaha low profile dalam memeroleh konsesi di Celah Timur. Kasarnya, biar Indonesia yang belepotan darah dan berbusa-busa di panggung diplomasi, yang penting Australia mendapat kenikmatan di Celah Timor. Begitu Timtim merdeka, Australia membuka belangnya. Seolah takut didahului hantu, negeri itu buru-buru mengajak Timor Leste untuk menandatangani pakta eksplorasi minyak dan gas di Celah Timor. Ditetapkanlah 90 persen bagian dari total hasil pengusahaan tambang di "kawasan operasi bersama" di anjungan Bayu-Undan untuk Timor Leste, sedangkan 10 persen lagi untuk Australia. Semua orang melihat, mulia sekali Australia. Tak tahunya, di balik `kemurahan` itu, ladang minyak dan gas yang jauh lebih besar yaitu Greater Sunrise dan Laminaria-Corallina, tidak dimasukkan dalam isi perjanjian. Keduanya dioperasikan penuh Australia, padahal menurut hukum internasional itu ada di teritori internasional dimana Timor Leste berhak memperoleh bagian. Yang mengenaskan adalah Australia sudah menikmati untung dari Greater Sunrise dan Laminaria-Corallina begitu Indonesia angkat kaki dari Timor Timur. Merasa ketimpangan kian menyolok, para pemimpin Timor Leste, yang paling keras adalah Mari Alkatiri, mendesak perundingan mengenai Celah Timor direvisi. Sementara Xanana Gusmao yang waktu itu Presiden berencana mengajukan batas landas kontinen baru ke arbitrase internasional. "Berdasarkan hukum laut internasional, Timor Leste layak memperoleh bagian lebih besar dari penambangan minyak dan gas di Laut Timor. Caranya, tentukan lagi batas teritori laut nasional di bawah kerangka Konvensi PBB untuk Hukum Laut (UNCLOS) dengan menjadikan Mahkamah Internasional sebagai hakimnya," kata James Ensor, Direktur Kebijakan Publik Oxfam, dalam The Sidney Morning Herald, 27 November 2003. Sayang, Timor Leste baru memikirkan arbitrase pada 2006 padahal Australia sudah menghapus opsi penyelesaian lewat arbitrase internasional itu sejak 2002 ketika perjanjian lanjutan mengenai eksplorasi tambang di Laut Timor disepakati. Tampak, Australia sudah berniat lama menelikung Timor Leste dengan menyiapkan perangkap-perangkap politik dan hukum untuk menjebak Timor Leste, termasuk membuat ekonomi dan politik negara muda itu kacau balau sehingga tak percaya diri di meja perundingan. "Australia telah mengambil keuntungan dari buruknya posisi ekonomi dan strategis Timor Leste," kata Tom Hylan, editor masalah internasional koran The Age, mengutip para pejabat PBB dan sejumlah politisi Timor Leste (The Age, 20 Mei 2002). Dicuri Pada April 2004, di depan peserta konferensi negara-negara donor untuk Timor Leste, Presiden Xanana Gusmao mengeluhkan keadaan negaranya ini sekaligus membuat Australia seolah disambar petir. "Jika tetangga kami yang lebih besar dan lebih kuat itu terus mencuri uang kami yang justru diperlukan untuk membayar utang-utang Timor Leste, maka kami akan terkubur utang. Kami akan menjadi salah satu negara terperangkap utang di dunia," kata Xanana dalam Le Monde Diplomatique edisi Desember 2004. Australia sewot, Menlu Alexander Downer menuduh Xanana memburukkan citra Australia dan seolah ingin menyebut Xanana sebagai `tak tahu diuntung` dengan menunjuk `kemurahan` Australia memberi Timor Leste porsi 90 persen royalti minyak di Bayu-Undan dan bantuan 170 juta dolar Australia. Lucunya, ketika itu Australia menangguk untung satu miliar dolar Australia dari hasil eksplorasi minyak dan gas di Laminaria-Corallina yang tak masuk perjanjian eksplorasi bersama Laut Timor. Ketidakadilan pembagian hasil minyak inilah yang sering memicu pertengkaran politik dalam tubuh sistem kekuasaan Timor Leste. Kubu Xanana menuding Alkatiri cs gagal mengoptimalkan kemanfaatan minyak untuk kesejahteraaan rakyat sewaktu mereka berkuasa, sebaliknya Fretelin mendakwa Xanana cs menyerah pada kelicikan Australia di Celah Timor. Alhasil, negara yang APBNnya sangat mengandalkan minyak dan gas Laut Timor itu tetap miskin. Minyak yang selama ini menjadi harapan, tak pernah bisa menyejahterakan rakyat karena tak tersalur adil atau habis untuk membayar cicilan utang dan gaji para kontraktor asing yang terlibat dalam rekonstruksi Timor Leste. "Cadangan minyak dan gas yang luar biasa besar di Laut Timor adalah jendela bagi Timor Leste bagi kesejahteraan rakyat dan generasi berikutnya. Sayang, Australia tak beritikad baik dalam negosiasi dengan tetangga kita itu," lagi, James Ensor seperti dikutip BBC (19 Mei, 2004). Warga makin frustasi, mereka yang hidup di wilayah Barat yang dulu relatif dimanja Indonesia merasa disisihkan. Beberapa kalangan bertindak nekad mengorupsi apa yang ada, semata untuk bertahan hidup. Pemerintah kemana-mana seperti menabrak dinding karena tak bisa optimal memperbaiki keadaan mengingat sumber dana APBN digantung Australia, belitan utang yang kian kronis, dan buruknya kualitas sumber daya manusia. Sikap temperamental dan sentimen kesukuan yang kental dari orang Timor Leste kian membelah rakyat ke dalam faksi-faksi. Geng-geng kriminal menyubur di Dili, barisan orang susah dan sakit hati terus memanjang dan kian gampang disulut untuk rusuh. Saling memojokkan terus terjadi, bahkan kematian perwira flamboyan Alfredo Reinado malah mengancam negeri itu masuk ke jurang perang saudara. "Ada tiga yang memperburuk krisis di Timor Leste. Satu, budaya senjata dalam berkuasa. Dua, kemelaratan dan korupsi. Ketiga, jatuhnya legitimasi kelompok elite utama politik," kata Richard Tanter, Profesor Hubungan Internasional dari Institut Teknologi Melbourne (RMIT) dalam Open Democracy (12/2). Ketiga masalah ini tak teratasi meski PBB dan Australia hadir sejak Timor Leste merdeka. "Pemerintahan Timor Leste yang terpilih secara demokratis memang harus didukung, tapi tidak dengan penambahan bantuan militer," kata Richard. Maka itu, kunjungan PM baru Australia Kevin Rudd, Jumat ini(15/2) yang ingin memesankan dukungan Australia pada rezim Horta-Xanana, diantaranya dengan menambah pasukan Australia di negeri itu, ditanggapi sinis beberapa kalangan. "Tidak, kami tak memerlukan militer Australia lebih banyak lagi di Timor Leste. Kami malah ingin dominasi Australia diakhiri dengan mendatangkan pasukan lain dari negara-negara yang lebih kompeten dan tak menjadikan kami kesetnya," kata Mane Kribas dari Timor Lorosae Nac`o dalam Timor Online (13/2). Untuk Indonesia, Timor Leste mengajarkan satu pesan bahwa perbatasan-perbatasan nasional terluar yang kaya energi harus ketat dilindungi karena bagai gadis rupawan nan seksi, daerah-daerah itu diincar para tetangga dan pihak luar lainnya. Alasan boleh kemanusiaan, tapi dahaga energilah yang acap menjadi alasan sejati asing berada di belakang separatisme. Seperti di Timor Leste, saat nafsu ekonomi terpenuhi, maka urusan kesejahteraan negara baru menjadi urutan ke-100. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008