Oleh Hasan Zainuddin Banjarmasin (ANTARA News) - Jangankan memakan, menangkap binatang trenggiling saja hampir dipastikan tidak ada yang berani, setidaknya bagi warga pedalaman Kalimantan Selatan (Kalsel) di era 1960 hingga 1980-an. Pasalnya, trenggiling bukanlah seperti binatang lainnya, tetapi binatang yang memiliki nilai mistis, bahkan dianggap sebagai jelmaan setan atau hantu. Bahkan, di pedalaman Kalsel banyak yang percaya bahwa keberadaan trenggiling di suatu desa bertanda kurang baik. Akhirnya binatang itu diburu jauh ke dalam hutan atau ditangkap untuk dimusnahkan melalui cara dibakar, agar roh jahat yang ada di dalam tubuh binatang itu ikut musnah terbakar dan tidak menganggu manusia. Tetapi, binatang sudah tertangkap itu tak jarang dimasukkan ke dalam karung atau diikat menggunakan tali, ternyata hilang begitu saja, sehingga akhirnya anggapan trenggiling sebagai jelmaan setan kian kuat. Dengan anggapan demikian, maka di era tahun-tahun tersebut populasinya cukup terpelihara, sehingga di hutan tidak ada yang berani memburunya. Hanya saja, satwa tersebut kemudian populasinya menjadi terus menurun hingga sekarang ini, karena bukan saja ditangkap untuk dikonsumsi dan diperdagangkan, tetapi juga akibat hutan yang kian rusak digunduli dan dibakar. Apalagi, trenggiling belakangan hari diketahui banyak orang bahwa daging dan lidahnya dinilai sebagian orang terasa lezat bagaikan daging bebek, serta dinilai memiliki berbagai khasiat bagi kesehatannya. Akhirnya, trenggiling pun kian diburu dan diperdagangkan, bukan saja di pasar lokal, tetapi tidak sedikit yang dijual secara antar-pulau, bahkan di ekspor. Layaknya yang terjadi di Banjarmasin, ibukota Kalsel, ada sebanyak 360 trenggiling (manis javanica) disita Kepolisian Sektor Kota (Polsekta) Banjarmasin Selatan dari rumah warga setempat, kemudian dimusnahkan aparat Dinas Kehutanan dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalsel di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Sultan Adam Mandiangin, Kabupaten Banjar, Kamis (17/4). Penemuan barang bukti perdagangan ilegal satwa tersebut merupakan yang kedua kalinya di rumah warga di bilangan Kampung Pekauman tersebut, karena sebelumnya petugas juga telah menemukan 10 ekor trenggiling dan 25 buah tanduk rusa untuk diperdagangkan. Menurut isteri tersangka kepada petugas, suaminya hanya sebagai pengumpul dan pengolah. Trenggiling-trenggiling itu dipasok oleh beberapa orang dari Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan/Kalimantan Selatan) serta daerah lainnya di wilayah Kalsel dan Kalteng ini. Biasanya, binatang tersebut dihargai Rp50.000 per ekor. Kemudian, trenggiling diolah dengan cara dibedah dan dikuliti, lalu dijual dagingnya itu kepada para pembeli yang datang ke rumah. "Untuk yang sudah dikuliti dijual dengan harga Rp200.000, sedang jika ada yang masih hidup bisa laku sampai Rp400.000. Biasanya yang datang orang Jakarta," kata isteri tersangka, seperti dikutip sebuah surat kabar di Banjarmasin. Trenggiling itu kemudian diolah jadi makanan. Langganan makanan daging trenggiling itu, menurut dia, orang China dan Jepang. Selain itu, ia menuturkan, setelah dibedah, sisik trenggiling dikelupas, kemudian dagingnya diawetkan, dan kalau sudah banyak terkumpul, maka barulah dikirim ke China. Sejumlah kalangan meyakini bahwa daging trenggiling dapat menyembuhkan penyakit jantung dan paru-paru. Bahkan, ada orang yang percaya bahwa daging tersebut bisa menjadi obat kuat, sedangkan kulitnya bisa dimanfaatkan untuk kosmetik. Satu kilogram sisik, bisa laku sampai Rp350.000. Usaha bisnis ilegal warga Banjarmasin itu akhirnya tercium petugas, dan akhirnya digrebek petugas gabungan Polsekta Banjarmasin Selatan dan BKSDA Kalsel, yang hasilnya ditemukan 360 trenggiling yang sudah dibedah dan dikuliti di dalam delapan lemari pendingin. Daging binatang yang ditemukan di rumah warga Banjarmasin seberat 1,5 ton itu dimasukkan ke dalam lubang besar di Tahura Sultan Adam Mandiangin Kabupaten Banjar, kemudian dibakar. Menurut seorang petugas, binatang ini tak boleh dijualbelikan karena ada peraturan yang menyatakan hal itu, seperti Undang-undang RI Nomor 5/1990, Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 17/1999. Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Banjarmasin, Nurani, kepada wartawan mengatakan, mereka yang memperjualbelikan trenggiling diancam dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp100 juta. Berdasarkan satu literatur tercatat bahwa binatang ini ditemukan oleh seorang bernama Desmarest pada 1822, dan disebut juga ant eater (pemakan semut) yang merupakan wakil dari ordo Pholidota yang masih ditemukan di Asia Tenggara. Tubuh trenggiling lebih besar dari kucing. Berkaki pendek, berekor panjang dan berat. Hal uniknya adalah bersisik di tubuhnya, yang tersusun layaknya genting rumah. Sisik pada bagian punggung dan bagian luar kaki berwarna cokelat terang. Binatang berambut sedikit itu tidak mempunyai gigi. Untuk memangsa makanannya yang berupa semut dan serangga, trenggiling menggunakan lidah yang terjulur dan bersaput lendir. Panjang juluran lidahnya dapat mencapai setengah panjang badan. Pada siang hari trenggiling tidur di dalam tanah. Sarang ini biasanya dibuat sendiri atau merupakan bekas sarang binatang lain yang tidak lagi ditinggali. Guna melindungi diri dari serangan musuh, trenggiling menyebarkan bau busuk. Ia memiliki zat yang dihasilkan kelenjar di dekat anus yang mampu mengeluarkan bau busuk, sehingga musuhnya lari. Musuh trenggiling adalah anjing dan harimau. Binatang unik itu berkembang biak dengan melahirkan. Hanya ada satu anak yang dilahirkan seekor trenggiling betina. Lama buntingnya hanya dua sampai tiga bulan saja. Jika diganggu, trenggiling akan menggulungkan badannya seperti bola. Ia dapat pula mengebatkan ekornya, sehingga "sisik"nya dapat melukai kulit pengganggunya. Trenggiling yang hidup di tanah mempunyai ekor berotot kuat. Panjangnya kira-kira sama dengan tubuhnya dan seluruhnya bersisik. Trenggiling yang hidup di pohon mempunyai ekor yang lebih panjang dari tubuhnya. Pada ujung ekor itu terdapat bagian yang gundul. Ekor digunakan sebagai lengan untuk berpegang waktu memanjat pohon. Ada tujuh jenis Trenggiling yang masih hidup yaitu Trenggiling India (Manis crassicaudata) terdapat di India dan Srilangka, Trenggiling Cina (M. pentadactyla) terdapat di Taiwan dan RRC Selatan, Trenggiling Pohon (M. tricuspis), Trenggiling Berekor Panjang (M. tetradactyla), Trenggiling Raksasa (M.gigantea) dan Trenggiling Temmick (M. Temmicki) terdapat di Afrika serta yang terakhir adalah Trenggiling Jawa (M. javanica) terdapat di Semenanjung Malaysia, Birma, Indocina (Vietnam, Laos, Kamboja) dan pulau-pulau Sumatera, Kalimantan dan Jawa. Binatang tersebut memakan semut, telur semut, dan rayap. Untuk menggantikan fungsi gigi, lalu ia akan memakan kerikil untuk melumatkan makanannya. Apakah hal ini tidak berbahaya bagi lambungnya? Menurut literatur, hal itu tentu saja tidak, karena lambung trenggiling telah dilapisi oleh epitel pipih berlapis banyak dan mengalami keratinisasi cukup tebal. Epitel yang mengandung keratin ini akan melakukan adaptasi terhadap jenis makanan keras. Gesekan mekanik antara rangka semut atau rayap yang dimakan dapat diminimalisir dengan adanya keratin tersebut. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008