Jambi (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut) MS Ka`ban menegaskan, sampai kapan pun taman nasional tidak bisa dijadikan hutan produksi (HP), karena pengertian HP untuk mengambil kayu atau mengeksploitasi hasil hutan. "Sampai kapan pun taman nasioanal tidak bisa dijadikan hutan produksi. Itu menyalahi," kata Ka`ban didampingi Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin dihadapan puluhan suku anak dalam atau Orang Rimba (Suku Kubu) di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Sabtu. Kecuali hutan produksi dialihfungsikan menjadi taman nasional atau kawasan konservasi itu baru bisa untuk menyelamatkan ekosistem, flora dan fauna. Ka`ban menyampaikan penegasan itu sehubungan adanya permintaan salah seorang tokoh masyarakat Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun yang berada di penyangga TNBD itu, untuk menjadikan sebagian kawasan TNBD menjadi HP. "Dulu TNBD ini sebelumnya Hutan Produksi Terbatas (HPT), namun pada 2003 ditetapkan menjadi taman nasional seluas 60.000 hektar dengan pertimbangan untuk menyelamatkan komunitas Orang Rimba yang tinggal di kawasan itu sejak ratusan tahun lalu," katanya. Orang Rimba memelihara hutan dengan kearifan tradisional sehingga harus dilindungi dan dipelihara hutan mereka. Ia menjelaskan, pada 1970-an hutan Indonesia relatif bagus seperti Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi, sehingga menggiurkan semua pihak untuk bermain kayu. Hampir 30 tahun eksploitasi hutan itu dilakukan, namun tidak ada perbaikan atau penanaman kembali, akibatnya 120 juta hektar hutan Indonesia mengalami kerusakan total. Pemerintah telah mencabut izin hak pengusahaan hutan (HPH) di seluruh Indonesia seluas 7 juta ha dari 9 juta ha, karena pengusaha HPH itu dinilai merusak hutan serta para pelaku penebangan liar (ilegal logging). Untuk mereboisasi hutan yang rusak satu-satunya jalan harus menanam kembali. Untuk hutan produksi dan hutan tanaman rakyat (HTR) disarankan menanam tanaman sengon dan meranti, karena pangsa pasar kayu itu cukup baik. Kayu sengon untuk kebutuhan bubur kertas (pulp and paper) memiliki pangsa pasar yang memiliki prospek di pasar dunia, karena tiap satu hektar pada masa panen empat sampai lima tahun memproduksi kayu 700 m3 atau bisa mendatangkan uang Rp140 juta per ha. "Berarti Sengon itu lebih baik harganya dibanding kelapa sawit," katanya. Dalam tatap muka dengan Orang Rimba itu, Tumenggung Tarib (penerima Kalpataru 2006) mengucapkan terima kasih kepada Menhut Ka`ban yang memenuhi janjinya datang ke TNBD. Tarib meminta kepada Menhut dan Gubernur Jambi, untuk menjaga dan mengamankan TNBD sebagai tempat tinggal dan mencari nafkah mereka. "Kami juga minta pemerintah memperhatikan masalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi bagi Orang Rimba. Masalah tempat tinggal atau rumah yang diberikan pemerintah tidak begitu perlu bagi kami, kecuali soal pendidikan dan kesehatan," ujar Tumenggung.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008