Jakarta (ANTARA) - Wakil Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah khawatir jika Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihidupkan lagi akan mengembalikan watak kepemimpinan yang otoriter, sebagaimana Orde Baru.

"Sampai sekarang publik bertanya-tanya, apa yang ingin dituju oleh para elite dengan wacana GBHN itu?," katanya saat dihubungi Antara di Jakarta, Kamis, menanggapi wacana GBHN dihidupkan kembali.

Baca juga: Pengamat: Relevansi fungsi GBHN dengan sistem presidensial harus jelas

Hurriyah mengakui saat ini isu penguatan kembali MPR, amendemen UUD 1945, termasuk GBHN sedang menghangat, namun justru menimbulkan kekhawatiran.

Ia mengingatkan Indonesia pernah punya pengalaman zaman Orde Baru ketika GBHN tidak sekadar menjadi patokan arah pembangunan, namun menjadi cara negara mengontrol banyak hal.

Baca juga: Pakar nilai wacana GBHN ingin wujudkan stabilitas politik semu

"Banyak kebijakan ketika itu, atas nama GBHN, menetapkan definisi yang sangat kaku, aturan yang kaku. Bahkan, menjadi 'alat penggebuk'," katanya.

Bahkan, kata dia, GBHN ketika itu dinarasikan sebagai tujuan jangka panjang Orde Baru yang untuk mewujudkannya memerlukan stabilitas politik, dengan asumsi jika gonta-ganti presiden akan bermasalah.

Baca juga: Pengamat: GBHN jadikan MPR lembaga yang lebih tinggi

"Akhirnya itu menjadi justifikasi (perpanjangan) masa jabatan presiden, yang walaupun secara konstitusional tetap lima tahun, tetapi bisa dipilih kembali. Apakah kita mau kembali ke masa lalu seperti itu?" ujarnya.

Menurut dia, alasan GBHN penting sebagai pedoman jangka panjang pembangunan bagi presiden agar tidak memiliki program sendiri-sendiri juga tidak tepat.

Yang paling penting, kata dia, memastikan bahwa siapapun presidennya harus melaksanakan janji-janji kampanyenya.

"Artinya, saya melihat (wacana menghidupkan) GBHN ini bukan hanya belum 'urgent', tetapi justru berpotensi mengembalikan situasi pemerintahan yang otoritarian," katanya.

Hurriyah menyebutkan indeks demokrasi di Indonesia sejak 2015 juga terus mengalami penurunan sehingga Indonesia bukan lagi menjadi negara bebas dalam berdemokrasi, melainkan setengah bebas.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019