Jakarta (ANTARA) - Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Dr Emrus Sihombing menilai dinamika perpolitikan di Indonesia lebih dari sekadar cair karena yang dominan adalah politik pragmatis.

"Makanya ada aksioma bahwa hanya kepentingan yang abadi (dalam politik). Aksioma kan tidak perlu diuji. Kepentingan (politik) itu bermacam-macam," katanya, saat dihubungi Antara di Jakarta, Kamis malam.

Tidak heran jika koalisi parpol di Indonesia bisa sedemikian cair dan berubah-ubah, seperti PDIP dengan Gerindra yang berkompetisi sengit di pilpres, namun tak lama setelahnya kedua partai malah tampil "mesra".

Baca juga: Pengamat: Indonesia perlu perkuat hubungan dengan negara strategis

Baca juga: Yunarto WIjaya: Pidato Jokowi tegaskan akan berani ambil kebijakan

Baca juga: Akademisi: Pidato politik Jokowi memberi rasa optimisme


Menurut dia, politik pragmatis yang masih kentara dalam perpolitikan di Indonesia, di antaranya terlihat dari koalisi yang cenderung dibangun dalam waktu sedemikian singkat.

"Koalisi parpol kan 'last minutes' semua, (dibangun) menjelang pilpres, pilkada. Kalau politik ideologis, koalisi semestinya dibangun 10-20 tahun sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Emrus Corner itu.

Kecenderungan politik pragmatis itu, kata dia, baru terlihat setelah era reformasi, mengingat saat Orde Baru sedemikian kaku karena sarat dengan kepentingan penguasa.

"Zaman Presiden Soekarno dinamika politik masih kental. Politik ideologisnya kentara. Kalau Orde baru didominasi kepentingan satu tokoh, saat Orde Lama banyak tokoh yang tampil," katanya.

Namun, kata dia, semua elite yang tampil itu kompak mengusung semangat nasionalisme dalam berpolitik, ideologis, berbeda dengan zaman sekarang yang cenderung pragmatis.

Mengenai arah perpolitikan di Indonesia ke depan, Emrus mengatakan sangat bergantung dengan dinamika politik nasional dan internasional, apalagi seiring era media sosial yang kian pesat.

"Kedua, tergantung elite politik. Apakah mereka masih mengembangkan politik identitas yang sempit dan perilaku pragmatis, atau menjunjung tinggi keindonesiaan," katanya.

Semestinya, kata Emrus, para elite politik mengembangkan politik ideologis sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, bukan pragmatisme dan politik identitas sempit yang semakin mempertajam perbedaan.

"Bagaimana politik ideologis yang dimaksud? Ya, sesuai nilai-nilai Pancasila. Menjunjung persatuan, keberadaban, dan mengedepankan musyawarah," katanya.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019