Bogor (ANTARA News) - Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan memperparah kemiskinan nelayan yang dapat berimplikasi pada meningkatnya problem sosial seperti keresahan sosial dan kriminalitas di daerah pesisir. "Nelayan yang dari dulunya miskin, mereka dipastikan akan semakin sengsara akibat tingginya harga BBM yang kerapkali harganya (di lapangan) jauh lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah," kata Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Tridoyo Kusumastanto, MS, dalam sebuah diskusi di Kampus IPB, Selasa sore. Kenaikan harga BBM, kata dia, menambah kesulitan nelayan yang saat ini masih merasakan dampak kenaikan harga BBM pada 2005 lalu. Selain bahan bakar untuk pengoperasian kapal yang makin tidak terjangkau, kenaikan harga BBM juga akan berdampak pada kenaikan biaya operasional lain seperti bahan kebutuhan pokok selama melaut yang mencapai 20 hingga 30 persen dari biaya produksi serta penyediaan es balok. Dalam rapat kabinet terbatas, Senin (5/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memastikan bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi secara terbatas, artinya masih dalam jangkauan masyarakat dan pelaku usaha. Pemerintah mengisyaratkan, kenaikan tersebut berkisar antara 20 hingga 30 persen. Tridoyo mengatakan, kenaikan harga BBM tersebut akan mengakibatkan berhentinya aktivitas perikanan tangkap maupun tambak udang akibat ketidakmampuan membeli BBM dengan harga terjangkau. Jumlah pengangguran di sektor tersebut juga bakal meningkat akibat banyaknya kapal yang tidak sanggup beroperasi sehingga terpaksa mem-PHK anak buah kapal (ABK). Padahal, para ABK tersebut dalam beberapa bulan terakhir juga terpaksa tidak melaut karena cuaca yang tidak bersahabat. Industri pengolahan sektor perikanan terancam gulung tikar, bahkan sebagian telah menutup aktivitasnya karena kesulitan mendapatkan bahan baku ikan, lanjut dia. Ia menilai, kebijakan pemerintah untuk membebaskan biaya pungutan hasil perikanan untuk kapal di bawah 60 GT serta pengoperasian kapal ikan secara berkelompok untuk menghemat pemakaian BBM, tidak efektif. "Kalau pemerintah sekedar membebaskan pungutan hasil perikanan belum tentu menyelesaikan masalah karena masih ada pungutan liar yang sulit dikendalikan," katanya. Disamping itu, pengoperasian kapal ikan secara berkelompok untuk menghemat BBM juga tidak efektif karena harga ikan relatif tidak naik sementara komponen biaya produksi relatif tinggi sehingga keuntungan dari hasil tangkapan turun atau malah merugi. Ia menyimpulkan, subsidi terbatas masih tetap diperlukan pada sektor perikanan yang komponen BBM sangat dominan serta menyerap tenaga kerja dan penyedia protein bagi masyarakat. Tridoyo Kusumastanto memberikan beberapa alternatif kebijakan yang bisa dievaluasi oleh pemerintah. Pertama, pemerintah harus mempunyai grand design program aksi pengelolaan pembangunan perikanan nasional. Kedua, memperjelas dana kompensasi nelayan yang dialokasikan dalam APBN, yang dimanfaatkan secara bijaksana untuk meningkatkan daya saing dan pengembangan teknologi untuk menekan ekonomi biaya tinggi. Ketiga, penataan sistem produksi perikanan dan pemasaran yang lebih efisien dan kompetitif, serta keempat, pengembangan sistem pengelolaan perikanan maupun program pelestarian sumberdaya ikan melalui kegiatan "restocking" atau "sea farming", terutama untuk jenis ikan yang tidak bermigrasi seperti kerapu.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008