Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Meski Israel-Palestina bermusuhan, namun jurnalis dari kedua negara mampu menunjukkan sikap profesional dengan tampil berdampingan pada "Global Inter-Media Dialogue" di Nusa Dua, Bali, Rabu. Smadar Perry dari harian Yediot Ahronot, media terkemuka di Israel, tampil berdampingan dengan rekan wanita asal Palestina, Majedah Albatsh dari "Agence France Presse" (AFP) yang bertugas di Jerusalem berbekal paspor Jordania. Kedua jurnalis wanita itu tampil pada sesi kedua liputan konflik pada acara yang diikuti 130 wartawan dari 60 negara, termasuk Indonesia. Meski pesertanya para jurnalis, namun sesi dialog itu tertutup untuk liputan media. Bahkan seorang wartawan dari Jakarta diminta untuk meninggalkan ruangan. Majedah Albatsh dalam percakapan di luar sesi dialog menuturkan, para jurnalis dari Israel dan Palestina biasa melakukan liputan bersama. Namun media tidak memiliki peran turut mendamaikan kedua negara, karena hal itu didominasi peran pemerintah. "Kami biasa meliput bersama. Sama-sama merasakan ketakutan, seperti warga Israel lainnya," ucapnya. Namun mental Israel sebagai negara penjajah, menurut dia, menyulitkan dirinya sebagai wartawan. Ia merasa dipandang sebelah mata oleh orang-orang Israel yang diwawancarainya. "Kamu siapa? Kamu orang Palestina. Kedudukan kita tidak setara. Kamu tidak pantas bertanya-tanya pada saya," kata Majedah Albatsh mengutip ucapan salah satu warga Israel yang diwawancarainya. Yang dimaksud kedudukan setara adalah warga Israel merasa sebagai penguasa, sementara orang Palestina berada di pihak terjajah. Harry Bhaskara, peserta dari Jakarta, berharap sikap profesional jurnalis dan media Israel-Palestina bisa menjadi contoh di Indonesia. "Selama ini media di kita seingkali bersikap memihak pada kelompok yang sepaham dan cenderung memanaskan konflik," katanya. Sementara Ananilea Nkya, Direktur Eksekutif Tanzania Media Women`s Association (Tamwa) mengungkapkan, kondisi kebebasan berekspresi di Tanzania sudah mengalami kemajuan dibanding negara-negara lainnya di Afrika. Pemerintah Tanzania memberikan kebebasan kepada pers dan tidak membatasi penyelenggaraan penerbitan. Sekarang ada 20-an media besar, dengan tiras 200 ribuan, namun mengalami kendala distribusi karena minimnya infrastruktur. Hanya saja bahaya terbesar saat ini adalah kesenjangan antara kaya dan miskin yang potensial memicu konflik dan mengancam keutuhan negeri itu. "Orang kaya itu yang memiliki akses ke pemerintahan. Sementara kecemburuan sosial mulai berkembang di kalangan warga miskin," katanya. Pers Tanzania juga berperan menyuarakan kondisi sosial tersebut, dengan harapan pemerintah memperbaikinya. "Pemerintah Tanzania menyadari bahwa informasi sangat penting dalam memfasilitasi pembangunan," ujarnya. Namun dia juga mengakui kadang terjadi kekerasan, tapi hanya menyangkut isu-isu sensitif dan jarang terjadi. Pemerintah juga memberi kebebasan kepada media untuk mengritik pemerintah, tambahnya. (*)

Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2008