Dunia terhenyak saat menyaksikan rakyat Haiti memenuhi jalan-jalan kota Port-au-Prince mengeskpresikan nestapanya setelah berhari-hari diserang lapar. Nilai uang sudah tidak lagi sebanding dengan harga bahan pokok yang terus meroket. "Kami lapar!" teriak mereka parau, tepat di depan istana presiden. Di negeri itu, ribuan orang mengerumuni situs pembuangan sampah, mencari remah makanan yang terselip dalam kantong-kantong dan bekas tempat makanan lainnya. Di Mauritania, Mozambique, Senegal, Pantai Gading, dan Kamerun, harga pangan yang memahal telah membuat manusia menjadi gampang bertengkar memperebutkan makanan sehingga ratusan nyawa melayang, demikian Mingguan Jerman, der Spiegel (14/4). Dari Afrika sebelah selatan sampai sub-Sahara di utara, dari Meksiko sampai Brazil di jajar selatan benua Amerika, dari Mesir sampai Suriah di Timur Tengah, dari Pakistan sampai Bangladesh di lintang selatan Asia, manusia menjerit dijepit harga pangan yang melambung melampaui daya beli mereka. Sebaliknya, negara-negara maju asyik mengonversi jagung, kedelai, gandum dan hasil pertanian lainnya menjadi etanol untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil yang semakin sulit, kian mahal, dan bertambah sukar mereka kontrol. "Dibutuhkan 1,8 kuintal jagung untuk membuat 25 galon etanol. Jumlah sebanyak itu cukup untuk menghidupi seorang dewasa selama setahun," kata Benjamin Senauer dalam "How Biofuels Could Starve the Poor" (Foreign Affairs, Mei/Juni 2007). Konversi ke etanol membuat jutaan orang di dunia --terutama Afrika sub-Sahara dan negeri melarat seperti Haiti-- hilang jatah pangannya. Gandum dan jagung yang semula untuk menghidupi jutaan orang kini dipakai untuk menghidupkan mesin mobil. Malapetaka baru berupa krisis pangan global pun tak bisa dielakkan. "Sejak tahun 2000, harga produk pangan melambung 75 persen, gandum melesat 200 persen, beras dan kedelai mencatat rekor tertinggi, sedangkan harga jagung mencapai rekor termahal dalam 12 tahun," lapor Bank Dunia seperti dikutip Sunday Herald (8/3). Eksportir beras terbesar dunia, Thailand, pun dipaksa mengatur kembali porsi ekspornya karena khawatir terkena getah krisis, pun demikian Vietnam. Sedangkan Indonesia mempercepat revisi APBN 2008 karena harus menambah subsidi sektor pertanian guna mengantisipasi dampak krisis pangan di masa berjalan. Sementara India dan Cina yang berpenduduk miliaran, semakin agresif mendatangkan pangan dari mana pun asalnya, untuk menghidupi penduduknya dan memenuhi permintaan industri boga yang tumbuh pesat di dua raksasa baru ekonomi dunia itu. Sejumlah pakar dan pemimpin dunia serempak membunyikan sirene moral guna mengingatkan dunia bahwa ledakan krisis harga pangan mesti segera direspon karena akan menyengsarakan lebih banyak manusia. "Belakangan ini kita sering mendengar krisis keuangan global, padahal krisis global lain yang menyengsarakan jauh lebih banyak orang sedang terjadi," kata ekonom AS Paul Krugman. Ucapan Krugman berkorespondensi dengan sejumlah klaim media berikut. "Lupakan minyak, krisis global baru itu krisis pangan," kata Financial Post, sedangkan Washington Post mengingatkan, krisis pangan membuat seluruh dunia kelaparan. Josette Sheeran, direktur eksekutif Program Pangan Dunia PBB, bahkan menyebut krisis pangan sebagai "tsunami diam-diam" yang akan menggulung siapa saja, sementara penyaji talkshow terkenal Amy Goodman menganggap krisis pangan kali ini adalah yang terburuk dalam 45 tahun terakhir. Klaim provokatif dilontarkan Presiden Bank Dunia Robert Zoelick yang menilai krisis pangan bakal menjerumuskan manusia ke dalam perang dan kerusuhan. Ini diamini kolumnis International Herald Tribune, Thomas Fuller, yang menengarai krisis pangan di Asia bakal menimbulkan implikasi politik dashyat. Menurut Fuller, Abdullah Badawi bisa saja menjadi pemimpin Asia pertama yang jatuh karena krisis harga produk pangan yang memang mulai menyulitkan rakyat Malaysia. Kembali ke sawah Dunia lalu sibuk menjejak pemicu krisis pangan dengan mengidentifikasi sebab. Ini dianggap sebagai cara efektif untuk memulai pemulihan dari kondisi abnormal. Seorang pakar, ekonom Universitas Harvard yang dinobatkan sebagai salah seorang tokoh paling berpengaruh sejagat oleh majalah "Time", Jeffrey Sachs, mengajukan proposisi, krisis pangan timbul karena sudah sangat tak seimbangnya kekuatan permintaan dan suplai. "Ada empat elemen yang membuat suplai melemah, yaitu produktivitas lahan yang sangat rendah terutama di Afrika sub-Sahara, meningkatnya upaya konversi produk pertanian menjadi bioenergi di AS dan Eropa, pola cuaca yang membingungkan, dan menyusutnya irigasi serta lahan-lahan subur untuk pertanian," kata Sachs. Klaim terakhir Sachs amat menarik karena kondisi itu umum terjadi di Indonesia di mana lahan-lahan hijau digusur industri, dari manufaktur sampai properti. Di negara maju, lahan produktif dipaksa untuk menghasilkan etanol, bukan lagi terigu dan produk pangan yang dibutuhkan manusia kebanyakan. Jelas, langka pangan dan merangseknya harga pangan yang merata di seluruh dunia terjadi karena manusia sudah mengabaikan posisi penting sektor pertanian. Sejumlah kalangan pun mulai menyesal telah antusias mendukung proyek konversi produk pertanian menjadi bahan bakar yang ternyata membuat lebih dari 100 juta orang kelaparan. Ini diperparah oleh sikap banyak negara, diantaranya Indonesia, yang enggan melihat pertanian sebagai sektor vital sehingga saat lahan pertanian menyusut, mereka hanya diam. Pengembangan teknologi pertanian pun tak dilakukan seekstensif di bidang teknologi lain. "Kita lupa bahwa pertanian itu juga industri," kata editor The American Thinker, J.R. Dunn (9/4). Oleh karena, tak berlebihan jika krisis pangan global menjadi momentum untuk merehabilitasi perlakuan di sektor pertanian, tak saja demi mengamankan stok pangan, namun juga untuk membangun fondasi ekonomi tahan krisis. Kultur sosial dan perlakuan ekonomi, bahkan orientasi pendidikan, mesti berubah seperti dilakukan Thailand dan Vietnam, dua negara yang menempatkan pertanian sebagai basis pembangunan ekonomi, sesuatu yang telah dilakukan Indonesia di masa Soeharto. Dunia juga mengakui dua negara itu berhasil mengelola ekonominya karena telah menentukan prioritas pembangunan ekonomi secara benar sehingga mereka kuat. Thailand, yang di masa krisis moneter 1997 mampu memulihkan diri dengan mengeksploitasi sense of crisis rakyatnya, kini bangga menjadi salah satu kekuatan pertanian dunia yang produk-produk agrikulturnya merambah dunia sehingga kas ekonomi likuid dan malah mendapat insentif dari krisis pangan global. "Beberapa tahun ini, kekuatan ekonomi sektor agrobisnis bertambah besar sehingga mendorong pemerintah di banyak negara membuat jaminan bahwa suplai pangan harus bisa mengatasi kemungkinan gejolak sosial. Namun, jika pemerintah tak mampu memaksimalkan kewenangannya di sektor ini maka konflik all-out memperebutkan akses pangan bakal terjadi," kata Laura Carlsen, direktur Americas Policy Program dalam buletin terbitan Center for International Policy (10/4). Maka, berbanggalah petani Thailand karena kecintaan mereka pada sawah, ladang, bau pupuk kandang, dan pekerjaannya terbukti benar mengingat pertanian itu vital termasuk di masa ketika beras dan produk pangan berubah bagai emas, sehingga siapa pun berbuat apa saja guna mendapatkannya. "Di masa lalu, ketika anak-anak ditanya gurunya apa pekerjaan ayah mereka, anak-anak akan malu menjawab `Ayah saya petani`, tapi kini perasaan itu hilang. Kami bangga pada apa yang kami kerjakan," kata Booncherd Leekasem, petani Thailand. (*)

Oleh Oleh A. Jafar M. Sidik
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008