Surabaya (ANTARA News) - Indonesia dapat belajar pada Kebangkitan Nasional yang dijalankan Cina dan India yang kini menjadi negara yang turut memengaruhi perekonomian dunia. "Kita bisa belajar bangkit dari India dengan cara berdamai dengan masa lalu atau memberi penghormatan kepada masa lalu, bukan berdebat dengan masa lalu seperti Indonesia," kata ahli masalah India, Makmur Keliat PhD, di Surabaya, Rabu. Ia mengemukakan hal itu dalam diskusi panel "Melihat Kebangkitan Nasional di Negara Lain, Pembelajaran dari India-Cina" yang digelar Fisip Unair Surabaya dengan pembicara lain Rene L Pattiradjawane (ahli Cina dari praktisi media). Menurut dosen Hubungan Internasional (HI) UI yang juga alumnus Unair Surabaya itu, berdebat dengan masa lalu itu memakan energi, padahal dapat dituntaskan secara bijak, kemudian energi yang ada digunakan untuk melihat masa depan. "Contohnya, kemungkinan kenaikan minyak dunia yang mencapai 150 dolar AS per-barel, apa yang akan kita lakukan, saya yakin India dan Cina sudah mempunyai antisipasi itu, sedangkan kita sibuk berdebat tentang tragedi Mei dan semacamnya," katanya. Cara lain, katanya, negara yang pasif atau tak berfungsi juga merupakan kendala Indonesia untuk bangkit. "Dalam 10 tahun terakhir, negara tidak berfungsi, karena tidak ada kebijakan yang jelas, sehingga kita tak mempunyai kedaulatan dalam ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, padahal kita merdeka karena ingin lepas dari penjajahan ekonomi," katanya. Sementara itu, ahli masalah Cina, Rene L Pattiradjawane mengatakan kebangkitan Cina bersumber dari kemampuan menggeser pekerja dari pertanian ke industri manufaktur, keterbukaan terhadap investasi, kerja keras, orientasi pasar, dan pembenahan aturan main yang mendukung. "Cina itu menjadikan dirinya sebagai pabrik bagi dunia dan sekaligus pasar, karena itu Cina mampu menguasai pasar dunia, yakni 29 persen pasar TV dunia, kulkas 24 persen, AC 30 persen, telepon 50 persen, mesin cuci 25 persen, kamera 50 persen, dan sebagainya," katanya. Dalam kesempatan dialog, mahasiswa tampak menyoroti Cina yang juga membebani Indonesia dengan koruptor dan kesenjangan/kemiskinan di India dan Cina yang jumlahnya lebih besar dari Indonesia. "Kesenjangan itu ada dimana-mana, tapi upaya mengatasi kesenjangan itulah yang patut dipelajari. Kalau korupsi itu, kita harus adil, karena korupsi itu bukan hanya pemberi tapi juga ada penerima," kata Rene L Pattiradjawane yang terakhir ke Cina pada Desember 2007.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008