Jakarta (ANTARA) - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan perundingan perdagangan bebas yang dilakukan Indonesia dapat lebih transparansi serta lebih banyak melibatkan keterlibatan publik termasuk dari kalangan masyarakat sipil.

"Proses perundingan sangat tidak demokratis. Tidak hanya tertutup dalam proses perundingan, tetapi DPR yang akan meratifikasi perjanjian ini juga tidak pernah membuka ataupun mengundang masyarakat sipil untuk ikut memberikan pandangan terhadap analisis dampak yang akan ditimbulkan oleh perjanjian perdagangan dan investasi internasional tersebut," kata Sekjen Kiara Susan Herawati di Jakarta, Jumat.

Menurut Susan, sebagian besar perjanjian perdagangan dan investasi internasional, baik yang sedang dirundingkan tidak pernah dibuka informasinya kepada publik, khususnya teks perjanjiannya termasuk komitmen liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah.

Bahkan, masih menurut dia, proses konsultasi pun tidak dibuka kepada publik, sehingga rakyat kesulitan untuk dapat terlibat secara aktif dalam memberikan masukan.

Sebagaimana diketahui, Putusan MK No.13/PUU-XVI/2018 telah mengukuhkan kembali perlindungan hak-hak rakyat atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian perdagangan bebas dan investasi internasional. Perjanjian internasional yang berdampak luas tersebut membutuhkan persetujuan rakyat.

Oleh karena itu, ia mengemukakan bahwa Pemerintah dan DPR wajib membuka informasi atau teks dan melibatkan rakyat secara luas dalam proses konsultasinya untuk mendapatkan pandangan rakyat mengenai dampak yang akan ditimbulkan dari perjanjian tersebut terhadap beban keuangan negara yang membebani publik dan terhadap pembentukan undang-undang yang baru.

Sebelumnya, Indonesia for Global Justice (IGJ) menginginkan pemerintah dapat melakukan kebijakan moratorium terkait ratifikasi perdagangan bebas untuk memperbaiki struktural perekonomian dalam rangka meningkatkan daya saing nasional.

"Dilema perjanjian FTA (Free Trade Agreement/Perjanjian Perdagangan Bebas) adalah dari perjanjian yang sudah ada saja kita sulit mendorong daya saing, apalagi mau menambah. Tentu dengan struktur perdagangan yang ada saat ini kita masih akan sulit mendongkrak nilai perdagangan, maka perlu moratorium dulu dalam meratifikasi FTA," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti.

Menurut Rachmi, nilai ekspor tidak akan naik signifikan bila pemerintah menambah perjanjian perdagangan bebas apalagi jika cara-cara perdagangannya masih dengan produk-produk konvensional.

Namun yang kemungkinan terjadi, masih menurut dia, adalah nilai impor yang berpotensi naik.

"Kalau kita buat FTA, tentu harapannya kita kan mau ekspor, tapi negara mitra kita juga mau ekspor ke kita atau berarti impor ke kita. Nah, kita juga tidak bisa batasi impor kalau udah ratifikasi FTA," ucapnya.

Untuk itu, ujar dia, akan jauh lebih baik bila berbagai perundingan FTA dihentikan dahulu agar Indonesia juga bisa fokus saja dulu dengan mendorong industrialisasi guna meningkatkan nilai tambah.

Selain itu, ia memaparkan bahwa dengan melaksanakan moratorium FTA, maka dapat dilaksanakan secara konsisten soal penerapan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), pembatasan impor untuk substitusi ketergantungan bahan impor, serta pembatasan ekspor konsentrat untuk hilirisasi.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019