Selain garam, NTT juga memiliki produksi daging yang lumayan bagus..
Kupang (ANTARA) - Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita saat memantau perkembangan harga sejumlah komoditas di sejumlah pasar tradisional di Kota Kupang, Jumat (23/8/2019), memandang penting jika Nusa Tenggara Timur dijadikan sebagai sentra produksi daging untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Kepada Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, Menteri Perdagangan Lukita berjanji akan terus mendorong daerah ini untuk menjadi sentra produksi daging agar secepatnya bisa memenuhi kebutuhan nasional.

"Minimal dua komoditas dari NTT yang bisa dijadikan sebagai sentra produksi nasional, yakni garam dan daging," ujarnya.

Produksi garam di NTT, seperti yang dilakukan panen perdana oleh Presiden Joko Widodo di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Rabu (21/8/2019) sudah masuk ke pasar-pasar tradisional yang dijual dalam bentuk garam curah.

Garam Nunkurus dan garam lokal lainnya di NTT yang dijual tersebut kualitasnya mampu menyamai kualitas garam impor, sehingga komoditas ini berpotensi untuk dikembangkan menjadi salah satu sentra produksi untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Selain garam, NTT juga memiliki produksi daging yang lumayan bagus, yang terlihat dengan stabilnya harga komoditas tersebut di pasar-pasar tradisional akibat pasokan daging yang melimpah.

Melihat potensi daging dan garam yang cukup bagus ini, Menteri Perdagangan Lukita kemudian menegaskan bahwa pemerintah pusat akan saling memberikan dukungan untuk pengembangan komoditi unggulan di NTT sehingga bisa membantu neraca perdagangan nasional.

Baca juga: Mendag dorong NTT jadi sentra garam dan daging nasional

Menteri Perdagangan Lukita memberi apresiasi khusus kepada perkembangan harga daging sapi di Kota Kupang, yang sampai saat ini masih tetap dalam kondisi stabil. "Ini luar biasa, karena harganya masih jauh di bawah harga rata-rata di Pulau Jawa," katanya.

Harga daging sapi di daerah Jawa saat ini rata-rata berada pada kisaran Rp110.000-Rp120.000 per kilogram, sementara di Kota Kupang stabil Rp90.000 per kilogram.

Ia memberikan apresiasi khusus terhadap upaya pengendalian harga bahan pokok yang dilakukan pemerintah melalui instrumen-instrumen instansi terkait di daerah ini, sebab bahan-bahan kebutuhan pokok di pasaran juga diketahui secara detil dari mana pasokannya dan lainnya sehingga upaya pengendalian berjalan.

Lumbung ternak
Nusa Tenggara Timur sempat mengalami masa keemasan sebagai salah satu lumbung ternak nasional pada beberapa dekade sebelumnya.

Akibat tidak adanya mekanisme pasar yang mengatur secara baik tentang tata niaga ternak pada saat itu, para petani peternak menjual  ternaknya dengan harga seadanya karena tuntutan ekonomi dengan mengabaikan kualitas ternak sebagaimana yang diharapkan dalam sebuah mekanisme pasar.

Baca juga: Kemendag sebut impor daging sapi agar harga kompetitif

Meninggalkan masa lalu yang kelam sebagai gudang ternak nasional yang gagal, NTT perlahan-lahan mulai bangkit pada masa pemerintahan Gubernur Frans Lebu Raya (2008 - 2018) ketika pemerintahannya berusaha mengembalikan kejayaan NTT sebagai gudang ternak dengan menetapkan daerah ini sebagai provinsi ternak.

Pada 2018, misalnya, pemerintah daerah terus mengembangkan potensi ternak sapi yang ada untuk mengembalikan kejayaannya sebagai gudang ternak nasional dengan menargetkan populasi sebanyak 1juta ekor sapi pada saat itu.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (saat itu) Syukur Iwantoro menyampaikan tren pertumbuhan populasi ternak di NTT dalam tiga tahun terakhir cukup menggembirakan, dan diyakini segera mencapai target populasi 1 juta sapi pada 2018.

"Saat ini populasi sapi NTT yaitu 865.000 ekor, ini artinya naik 20 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2013. Data sensus BPS saat itu menunjukkan populasi sapi NTT berjumlah 725.000 ekor," ujar Syukur dalam kunjungan kerjanya beberapa waktu lalu ke Kefamenanu, Timor Tengah Utara.

Pencapaian tersebut dinilainya merupakan yang cukup tinggi dalam skala provinsi, apalagi NTT memiliki dua jenis sapi yang sangat diminati seluruh rakyat Indonesia yaitu Sapi Bali dan Sapi Sumba Ongole yang di Indonesia, hanya dihasilkan di Pulau Sumba.

Lalu, bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi sapi nasional? "Ada sejumlah program yang telah disusun oleh pemerintah pusat untuk terus mengembangkan produksi sapi di NTT," katanya.

Pertama, proses perbaikan genetik sapi melalui inseminasi buatan (IB). Dalam program ini, Provinsi NTT termasuk provinsi yang melakukan percepatan program IB.

Dengan teknik IB dan kawin alam, pada 2016 populasi NTT dapat mencapai 950.000 ekor. Sepanjang tahun ini, akan ada 50.000 ekor sapi di Provinsi NTT yang akan dikerahkan untuk program IB.

Kedua, dalam rangka untuk mengembalikan NTT sebagai sumber ternak, pemerintah akan menerapkan langkah-langkah untuk mengantisipasi kekurangan pangan ternak pada musim kemarau.

Ancaman Antrax
"Di NTT ini 3-4 bulan musim basah, sisanya musim kering. Itu salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas sapi-sapi kita yang ada. Terobosan yang dilakukan untuk mengantisipasi hal ini, yaitu membangun embung, atau tempat penampungan air," kata Syukur.

Dengan demikian, NTT diharapkan dapat berkontribusi secara signifikan memberi pasokan untuk program swasembada daging sapi nasional yang dicanangkan oleh pemerintah.

"Kami targetkan tingkat pertumbuhan populasi ternak 4,5 persen melalui penurunan angka kematian ternak kurang dari 4 persen dan peningkatan angka kelahiran hidup 25 persen dari populasi," kata Kepala Dinas Peternakan NTT Dani Suhadi.

Selain itu, NTT juga memiliki program pengembangan lain seperti pengendalian pemotongan sapi betina produktif, pengendalian pengeluaran jantan produktif, serta mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat peternak melalui kontribusi peningkatan nilai tukar petani peternak lebih dari 1,15 persen.

Saat ini, NTT masih menghadapi sejumlah ancaman kesehatan hewan berupa penyakit hewan menular strategis (PHMS) seperti Brucellosis, Antrax, Hog Kolera, dan Rabies.

"Setiap tahun, penyakit destruktif hewan ini menyebabkan kerugian di tingkat petani mencapai 5,5 persen dari produktivitas ternak dan ekuivalen dengan Rp80 miliar-Rp100 miliar," ujar Dani Suhadi.

Lalu, bagaimana dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak sapi dalam tahun ini? "Untuk tahun ini (2019) kami targetkan peningkatan populasi ternak sapi sebanyak 2 juta ekor," katanya.

Mencermati tren populasi ternak sapi yang cukup menggembirakan ini, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita tampaknya tidak ragu menunjuk Nusa Tenggara Timur sebagai sentra daging untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019