Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Ekonomi Tim Indonesia Bangkit, Hendri Saparini menilai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) masih dapat dihindari jika pemerintah mau melakukan berbagai perubahan kebijakan. "Tidak perlu ada keraguan untuk menolak kenaikan harga BBM karena solusi jangka pendeknya ada dan bisa diimplementasikan," katanya dalam diskusi mengenai dampak kenaikan harga BBM di Jakarta, Senin. Salah satu solusi yang bisa dilakukan pemerintah, lanjut dia, adalah dengan mengurangi pembayaran utang dalam negeri dan luar negeri. "Kalau pemerintah bisa memotong dana subsidi BBM, mestinya ada cara yang mudah untuk memotong bunga utang rekap di APBN yang totalnya bisa mencapai Rp95 triliun," ujarnya. Sedangkan untuk utang luar negeri, lanjut dia, pemerintah harus dapat melakukan loby pada kreditor agar beban berat yang ditanggung Indonesia juga dirasakan oleh kreditor. Selain itu, lanjut Hendri, pemerintah daerah juga harus ikut menanggung beban subsidi BMM. Menurut dia, perhitungan penerimaan migas selama ini tanpa memperhitungkan beban subsidi terlebih dahulu, seharusnya beban subsidi dibagi dengan daerah baru dihitung dana bagi hasilnya. "Dana bagi hasil harus dibakukan, misalnya asumsinya pasti 95 dolar AS per barel, maka kalau harga minyak dunia di atas itu `windfall profit`-nya tidak dibagi pada daerah. Tanpa perencanaan hal itu menjadi tidak efisien karena mereka (pemerintah daerah) akan simpan dana itu di SBI lagi," jelasnya. Menurut dia, pemerintah pusat harus bisa melobi pemerintah daerah untuk mau berbagi beban subsidi BBM. Hendri menilai permasalahan harga BBM ini terjadi karena pengelolaan sumber daya migas yang salah urus. "Kita harus revisi UU Penanaman Modal dan UU Migas untuk memperbaiki `cost recovery`," ujarnya. Hendri juga berpendapat, kompensasi kenaikan harga BBM berupa pemberian Bantuan Tunai Langsung (BLT) plus yang rencananya dibagikan kepada rakyat miskin di 10 kota besar tidak akan tepat sasaran. "Itu bisa diprediksi tidak akan tepat sasaran. Rencananya kan untuk 10 kota besar dulu untuk dua bulan kemudian ke seluruh Indonesia. Siapa yang harus tanggung beban masyarakat selama 2 bulan itu," katanya. Ketua Umum Serikat Pekerja Pertamina, Abdullah Sodik mengatakan, pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang UU Migas yang menyebabkan cost recovery migas yang tinggi sehingga penerimaan migas tidak bisa mengkompensasi konsumsi dalam negeri. "Kita minta pemerintah dan DPR berani untuk mengkaji kembali UU Migas yang gagal diuji lewat Mahkamah Konstitusi," ujarnya.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008