Jakarta (ANTARA) - Rakyat Indonesia rupanya harus setiap saat siap mendengar ataupun melihat kasus-kasus yang tekait dengan kekerasan yang terjadi di Tanah Air.

Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Ke-74 Negara Kesatuan Republik Indonesia, 17 Agustus, muncul kabar tentang perusakan bendera Merah Putih di asrama mahasiswa asal Papua di Malang, Jawa Timur.

Jumlah pelakunya, motif, dan tujuannya sampai saat ini Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur masih menyelidiki kasus kejahatan terhadap lambang-lambang negara tersebut. Misalnya, siapa pelakunya dan berapa pelakunya serta tujuannya.

Yang ada ialah setelah munculnya kasus ini warga sekitar asrama di Malang mendatangi tempat itu sehingga terjadilah suasana menegangkan. Beberapa warga setempat tampaknya mengeluarkan ucapan yang menyindir hingga dianggap menghina para penghuni asrama.

Pelaku menghina warga asal Papua dan Papua Baat ini diduga berasal dari beberapa oganisasi kemasyarakatan alias ormas, termasuk anggota Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Anggota TNI-Polri (FKPPI) dan juga diduga sejumlah anggota TNI dan Polri.

Baca juga: Dewan Adat Doreri ajak seluruh etnis bangun Papua Barat

Akibat kasus tersebut, pengurus FKPPI Jawa Timur memecat seorang anggotanya yang bernama Tri Susanti.

Penyerangan atau penyerbuan asrama ini terdengar hingga ke Papua dan Papua Barat melalui media sosial sehingga akhirnya muncul berbagai demonstrasi alias unjuk rasa, seperti d Jayapura, Sorong, hingga Manokwari sebagai bentuk protes.

Melihat suasana yang panas itu, kemudian pimpinan TNI dan Polri menambah jumlah petugas keamanan. Tidak kurang dari Menteri Koodinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto, Panglima TNI Marsekal TNl Hadi Tjahjanto serta Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian mendatangi Papua Barat guna bertemu dengan para tokoh masyarakat, pemuka agama, hingga pejabat daerah.

Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo juga mengeluarkan pernyataannya di Istana Kepresidenan, Jakarta. Kepala Negara memohon maaf atas kejadian unjuk rasa di Malang dan Surabaya yang telah menimbulkan ketersinggungan di Bumi Cenderawasih. Secara terbuka, Joko Widodo minta semua pihak untuk saling bermaafan.

Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Khofifffah Indar Parawansa bertemu dengan Staf Khusus Presiden Urusan Papua dan Papua Barat Lenis Kogoya untuk membicarakan perlunya diambil langkah- langkah untuk “mendinginkan” atau menenangkan suasana, terutama di Papua dan Papua Barat. Susana panas pun mulai mereda di berbagai kota.

Akan tetapi, masalahnya yang mendesak adalah sampai kapankah ketenangan ini bakal berlangsung dan tindakan apa yang harus ditempuh agar ketegangan ini tidak terulang?

Baca juga: Polresta Sidoarjo minta masyarakat Papua tidak terhasut isu hoaks


"Undang" Asing

Gubernur Papua Lukas Enembe bahkan dikabarkan minta agar internasional diajak atau diundang untuk ikut memulihkan suasana sehingga kembali tenang atau kondusif.

Akan tetapi, pertanyannya adalah benarkah Gubernur Lukas Enembe menginginkan agar orang-orang asing diundang untuk menyelesaikan masalah ini?

Salah satu prinsip utama dalam hubungan internasional adalah dilarang untuk mecampuri atau mengintervensi urusan negara lainnya. Jadi, jika Indonesia mengundang negara lain untuk ikut menyelesaikan masalah di Papua, apakah itu berarti akan atau telah terjadi intervensi terhadap urusan dalam negeri NKRI? Bagaimana kalau negara itu memaksakan kehendaknya?

Kalau di sana terjadi pembunuhan massal atau besar-besaran yang kini lazim disebut genosida, Indonesia bisa mengundang pemerintah asing atau organisasi dunia, seperti PBB, untuk membuktikan benar atau tidaknya telah terjadi genosida.

Bertahun-tahun di Papua telah terjadi pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, atau pencurian yang dilancarkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak bertanggung jawab, misalnya yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka alias OPM.

Masalahnya adalah sudah adakah orang-orang di Papua yang minta internasional untuk menyelidiki kasus-kasus pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata alias KKB tersebut? Jangan hanya pemerintah Indonesia yang “disuruh” mendatangkan orang-orang asing.

Ulah KKB-KKB harus dibasmi karena telah menyengsarakan mayoritas orang Papua dan Papa Barat.

Baca juga: Pendeta-pendeta Papua berharap mahasiswa kembali menuntut ilmu

Joko Widodo selama 5 tahun pertama pemerintahannya hingga 20 Oktober 2019 telah membuat berbagai proyek dan program untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Bahkan, kini sudah ada proyek yang disebut “Harga Satu BBM”. Dengan demikian, tidak ada lagi harga BBM di Papua dan Papua Barat yang satu liternya sampai puluhan ribu rupiah, sedangkan di Jawa hanya beberapa ribu rupiah.

Pada saat ini sedang dibangun proyek tol Papua untuk mempermudah transportasi, mengurangi ekonomi berbiaya tinggi sehingga dapat mempermudah hubungan antardaerah.

Berbagai proyek ini memang belum berarti akan selesainya semua kendala. Akan tetapi, rakyat Papua harus sadar dan yakin bahwa siapa pun presiden NKRI dan apa pun proyeknya, semuanya hanya satu tujuannya, yakni untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Namun, di lain pihak, rakyat Papua dan Papua Barat juga harus ikut memberantas korupsi yang masih sering terjadi di sana. Selain itu, juga jangan terus terjadi ada karyawan pemerintah atau bahkan pejabat yang meninggalkan daerahnya untuk berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan yang entah untuk apa dilakukannya.

Baca juga: Polisi tangani dua kasus berbeda terkait Asrama Papua

Rakyat Papua perlu menyadari bahwa tugas utama mereka adalah membangun Papua dan Papua Barat. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan niat baik pemerintah Indonesia, harus disadari bahwa tujuannya untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat dan rakyat Papua dan Papua Barat.

Bahkan, harus disadari bahwa Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sama sekali bukan “anak tiri” bagi NKRI. Ke-34 povinsi di Tanah Air semuanya adalah anak emas alias kesayangan pemerintah di Ibu Kota NKRI yang sekitar 2 tahun lagi akan mulai pindah ke Kalimantan.

Percayalah bahwa NKRI bisa menyelesaikan sendiri masalah atau persoalannya.

*) Arnaz Ferial Firman, wartawan ANTARA tahun 1982 s.d. 2018. Pernah meliput acara-acara kepresidean pada tahun 1987 s.d. 2009

Copyright © ANTARA 2019