Jakarta (ANTARA) - Kalangan akademisi mempertanyakan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa perkebunan sawit besar milik swasta yang tidak menggunakan keuangan negara seperti Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/D).

Menurut akademisi Univeristas Pelita Harapan Ronny Bako di Jakarta, Selasa, kewenangan BPK dibatasi pada organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

"Bahkan jika ada indikasi pelanggaran pada lembaga atau badan, audit hanya dilakukan penyalahgunaan keuangan negara saja. BPK tidak punya kewenangan untuk memeriksa urusan yang tidak terkait dengan penggunaan keuangan negara," katanya kepada media.

Menurut Ronny, lembaga negara tersebut juga wajib memiliki standar perusahaan perkebunan yang baik ketika memberikan penilaian. Standar itu diperlukan agar hasil pemeriksaannya bisa memberikan keyakinan yang memadai.

"Pertanyaannya, apakah BPK punya kewenangan untuk memeriksa perkebunan sawit yang tidak menggunakan keuangan negara. Pertanyaan lain standar mana yang dipergunakan BPK saat menilai 81 persen perkebunan sawit menghadapi masalah dengan pengelolaannya. Masalah itu harus dipertanyakan,” ujarnya.

Rony juga menilai perlunya semangat integrasi antar kementerian/lembaga yang tertuang pada rancangan kebijakan RUU Pertanahan agar bisa menuju kebijakan satu peta (one map policy) melalui single land registration system.

Menurut dia, polemik berkepanjangan Kementerian ATR/BPN dan KLHK terkait beda pemahaman antara tanah dan hutan perlu diakhiri karena memicu konflik yang hingga kini tidak pernah usai dan perkebunan rakyat selalu menjadi korban.

Pemerintah, lanjutnya, perlu berpikir dan bertindak strategis agar berbagai regulasi terkait sawit bisa segera diharmonisasi dan tidak terus terbebani dengan berbagai konflik.

"Sayangnya, apapun masalah terkait sawit, selalu dikaitkan dengan konflik. Padahal, sawit merupakan komoditas penting yang bisa menopang kinerja pemerintah," katanya.

Rony juga menilai, kebijakan pemerintah untuk membangun kemitraan dengan masyarakat melalui pembangunan plasma punya tujuan baik. Namun di lapangan pengaturan tersebut masih menimbulkan kendala dan permasalahan dalam implementasinya.

Hal itu, tambahnya, karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya.

Dikatakannya, hal itu, karena pengaturan dalam regulasi dan/kebijakan yang satu dengan lainnya masih inkonsisten serta mekanisme pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas.

Pengamat hukum kehutanan dan lingkungan Sadino juga mempertanyakan laporan BPK yang menyebutkan tata kelola sawit di Indonesia buruk, tanpa mempunyai standar penilaian untuk perusahaan perkebunan.

”Apa jadinya dengan investasi dan tenaga kerja, jika banyak industri kolaps, hanya karena tidak ada kepastian berusaha," katanya.

Sadino juga mengingatkan, tumpang tindih perizinan disebabkan disharmoni regulasi.

Menurut dia, pemerintah sebaiknya menunjuk institusi tertentu seperti Kementerian Pertanian dan sekretaris ISPO untuk memberikan pernyataan terkait perkebunan sawit.

Baca juga: BPK diminta audit investigatif program cetak sawah

Baca juga: Gapki: perkebunan swasta taat aturan bangun plasma

Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019