Jakarta (ANTARA) - Calon pimpinan KPK dari unsur Polri Firli Bahuri membantah pernah menerima gratifikasi menginap di hotel selama dua bulan.

"Saat bapak pindah dari Lombok ke Jakarta pernah menginap di hotel kurang lebih 2 bulan dan ada pihak tertentu yang membayar, apakah benar?" tanya ketua panitia seleksi (pansel) Yenti Ganarsih di gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa.

Baca juga: Firli: Pimpinan KPK nyatakan saya tidak langgar etik

Baca juga: Polri benarkan Irjen Firli ditarik dari KPK

Baca juga: Kapolri lantik Irjen Firli jadi Kapolda Sumsel


"Sudah baca banyak orang menanyakan hal seperti itu tapi izinkan kami menjelaskan. Benar saya menginap di hotel Grand Legi dari 24 April sampai 26 Juni 2019, anak saya masih SD, istri perlu mengawasi anak saya selama saya di sana kurang lebih hampir 2 bulan. Saya 'check in' 24 April dan istri saya membayar langsung Rp50 juta dibungkus amplop cokelat," jawab Firli.

Firli menyampaikan hal itu saat mengikuti uji publik seleksi capim KPK 2019-2023 pada 27-29 Agustus 2019. Uji publik itu diikuti 20 capim sehingga per hari, pansel KPK melakukan wawancara terhadap 7 orang capim yang dilakukan bergantian selama satu jam.

"Sampai saat ini saya tidak pernah dibayari orang, saya saat ini sebagai Kapolda Sumsel menginap di hotel bayar sendiri. Saya mengatakan ini contoh kecil memberantas korupsi. Busuk tidak pernah dari kaki dan ekor tapi dari kepala, kepala harus suci," ungkap Firli.

Selama menginap di hotel Grand Legi Mataram, Firli total mengeluarkan uang Rp55,27 juta untuk menginap dengan rincian membayar Rp50 juta pada 24 April 2019 dan Rp5,27 juta saat "check out" pada 26 Juni 2019.

"Tidak benar saya mendapat gratifikasi, saya masih punya harga diri dan saya tidak pernah mengorbankan integritas saya. 35 tahun saya menjadi polisi tidak pernah memeras orang dan tidak pernah minta-minta ke orang, saya mohon maaf saya semangat sekali menyampaikan ini," kata Firli mengebu-gebu.

Firli juga menegaskan bahwa tidak ada konflik antara pimpinan dan anak buah di KPK meski ia pernah dilaporkan ke pengawas internal melakukan pelanggaran etik.

"Saya tidak mengalami konflik antara pimpinan dan anak buah," ungkap Firli.

"Tapi apakah yang lain mengalami?" tanya anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo.

"Kalau yang lain mengalami itu mungkin personal, tapi yang pasti penyebabnya adalah undang-undang dan peraturan pemerintah kurang sinkron karena dengan PP 63 dan UU 30/2002 kurang sinkron seperti ada pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pegawai diperbantukan dan pajaknya juga beda. Pimpinan KPK tidak kena pajak, pegawai bisa kena pajak 15-20 persen, mungkin karena itu," jelas Firli.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019