Magelang (ANTARA News) - Pementasan sendratari bertajuk "Dyah Pitaloka" ingin menggambarkan simbol bahwa pemaksaan kepentingan politik para petinggi akan menjatuhkan martabat bangsa dan berakibat menyengsarakan rakyat. "Melalui sendratari ini tergambar bahwa sikap politik para elit yang bertendensi untuk memaksakan kehendak akhirnya membuahkan kesengsaraan rakyat dan merendahkan martabat," kata Koreografer Sendratari "Dyah Pitaloka", Dwi Anugrah, usai pementasan itu di Magelang, Minggu. Sendratari berdurasi sekitar 40 menit itu dimainkan puluhan pelajar SMA Pangudi Luhur "Van Lith" Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam puncak apresiasi seni, memeringati perintis sekolah unggulan di daerah itu dengan sistem pendidikan asrama. Lakon itu bersumber dari Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca, dan Novel Senja di Langit Majapahit, karya Hermawan Aksan, dengan produser Br. Albertus Suwarto, FIC, penata iringan Purwadi, dan kemasan gerak tari tradisional Jawa. Sendratari "Dyah Pitaloka" yang terdiri tiga adegan itu menuturkan ambisi penaklukan wilayah-wilayah nusantara oleh Patih Gajah Mada (Ardi) dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin Raja Hayam Wuruk (Didi) dalam seni gerak tari. Alkisah, Majapahit belum berhasil menaklukan Kerajaan Sunda Galuh di bawah Raja Linggabuana (Johan) melalui beberapa kali peperangan. Raja itu memiliki seorang puteri bernama Dyah Pitaloka (Elok). Raja Hayam Wuruk ingin melamar Pitaloka dan menjadikannya sebagai permaisuri Kerajaan Majapahit yang dipimpinnya. Lamaran Hayam Wuruk diterima Linggabuana dan Pitaloka pun dengan pengawalan sejumlah prajurit berangkat menuju Majapahit. Di Lapangan Bubat yang dikisahkan berada di kawasan perbatasan antara wilayah Majapahit dengan Sunda Galuh, Gajah Mada dengan pasukan tempurnya menjebak rombongan Pitaloka yang memang tidak disiapkan untuk berperang. "Gajah Mada memaksa Sunda Galuh harus tunduk kepada Majapahit dan menjadikan Pitaloka sebagai puteri persembahan kepada Raja Hayam Wuruk," kata Anugrah. Pertempuran antara kedua pihak di Lapangan Bubat berlangsung seru ditandai jatuh korban di kedua pihak dan kesengsaraan rakyat di sekitar tempat perang itu, namun akhirnya dimenangi pasukan di bawah pimpinan Gajah Mada. Hayam Wuruk yang mendengar tindakan Gajah Mada itu dikisahkan dalam sendratari tersebut sebagai marah. "Tindakan patihnya itu telah menurunkan martabat kerajaan dan mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Pesan yang ingin disampaikan dalam sendratari ini, bagaimana seorang pemimpin saat ini mengambil kebijakan yang tepat, yang tidak mengakibatkan rakyat menderita dan selalu berkomitmen mengangkat martabat bangsa dan negara," kata Dwi Anugrah. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008