Mekkah (ANTARA) - Hudaibiyah barangkali hanya sebuah titik dalam peta dan salah satu batas terluar kota suci Mekkah sehingga kerap kali menjadi tempat jamaah mengambil miqot saat akan berumrah.

Miqot adalah batas-batas waktu atau tempat-tempat yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW untuk dimulainya ibadah umroh dan haji. Apabila melintasi miqat umroh, seseorang yang ingin mengerjakan umroh dan haji harus mengenakan kain ihram dan melafatkan niat.

Namun jauh di luar itu, pada 6 H sejarah mencatat Hudaibiyah, desa kecil 26 km di barat pusat Masjidil Haram menuju Jeddah, menjadi saksi ketika Rasul menggelar perjanjian untuk tak saling usik dengan Kaum Quraisy.

Tempat perjanjian itu berlangsung kini tersisa sebagai reruntuhan dan puing batu berselimut lumpur kapur keras berwarna cokelat tanpa atap.

Di tempat itu pula yang pada ratusan tahun silam, terjadi diplomasi ala Rasul dalam menghadapi lihainya Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy memainkan kalimat perjanjian untuk kepentingan mereka.

Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi: "Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah".

Meski terkesan menguntungkan Quraisy faktanya, perjanjian itu justru menguntungkan umat Islam karena tidak memungkinkan mata-mata Quraisy untuk bisa memasuki Madinah tempat kaum Muslim bermukim.

Hingga kemudian, Quraisy melanggar perjanjian itu dan kaum Muslim bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M.

Kaum Muslim berpasukan sekitar 10.000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Kakbah.

Ahli filologi sekaligus Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Oman Fathurahman pun menilai Hudaibiyah sejatinya merupakan simbol kemenangan besar Umat Islam.

Dalam kenangan

Siapapun yang berkunjung ke situs Hudaibiyah akan dilemparkan ke kenangan ratusan tahun silam.

Bangunan khas Arab yang kini berupa reruntuhan bebatuan itu sebagian di antaranya telah hancur dan puingnya teronggok begitu saja.

Ia telah melewati masa abad demi abad dengan ketebalan temboknya yang mencapai 50 cm namun sayangnya tak ada aturan tertulis apapun dari Pemerintah Arab Saudi bagi pengunjung agar turut menjaga kelestariannya.

Sebagaimana situs peninggalan di Arab Saudi lainnya, reruntuhan Hudaibiyah yang begitu besar dan sarat maknanya juga tak lepas dari tangan-tangan jahil yang usil mencoret-coret di setiap sudutnya.

Hudaibiyah yang bersejarah itu pun harus menanggung kejamnya vandalisme kekinian dari para oknum yang tak paham betapa berartinya untuk merawat kelestarian sebuah kenangan besar Umat Islam.

Sebagaimana sejarahnya, Hudaibiyah awalnya merupakan nama sebuah desa, nama lainnya adalah Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.

Kini, di depannya telah dibangun sebuah masjid bernama Ar Ridhwan yang kerap kali digunakan sebagai tempat jamaah menunaikan salat sunat ihram dan bermiqot sebelum berangkat berumrah ke Masjidil Haram.

Hudaibiyah sebagaimana peninggalan sejarah lain kini berada di bawah kewenangan Wangsa Saud dalam pengurusannya.

Pendiri kerajaan Arab Saudi termasuk penerusnya memiliki keyakinan yang kuat hingga menjadi tradisi mereka untuk melarang peziarah berdoa atau mengunjungi tempat-tempat yang terkait dengan kehidupan Rasulullah dan berusaha menghancurkan situs-situs sejarah tersebut.

Pantas jika, mereka tak pernah memiliki aturan tertulis untuk benar-benar melindungi situs peninggalan yang tak jarang memiliki nilai kesejarahan yang amat besar.

Bahkan berdasarkan estimasi Gulf Institute lima tahun silam, sebanyak 95 persen bangunan yang berumur 1.000 tahun telah dihancurkan dalam 20 tahun terakhir.

Tidak Mencoret

Maka demi kelestariannya, jamaah asal Indonesia pun diminta dan diimbau untuk tidak ikut-ikutan mencoret-coret situs bersejarah di Tanah Suci karena seluruhnya memiliki nilai kesejarahan yang sangat tinggi.

Kepala Daerah Kerja Mekkah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji Indonesia (PPIH) 2019 Subhan Cholid mengatakan kerap kali saat berkunjung ke situs bersejarah di Mekkah seperti Jabal Nur, Jabal Tsur, Jabal Rahmah, Hudaibiyah, dan lain-lain banyak dijumpai tulisan-tulisan nama bahkan tidak jarang di antaranya nama khas Indonesia.

Tak hanya itu, bahkan beberapa di antaranya menempelkan atau meninggalkan foto-foto mereka di tempat tersebut.

Oleh karena itu, pihaknya mengimbau kepada jamaah saat berkunjung ke tempat-tempat bersejarah agar turut menjaga kelestarian, kebersihan, dan kerapian dari tempat-tempat tersebut.

Apalagi karena tempat tersebut sangat bersejarah dan punya makna yang luar biasa.

Menurut dia, tempat tersebut perlu dijaga tetap lestari supaya bisa dinikmati oleh orang dari seluruh dunia dan menjadi pelajaran berharga bagi semua dengan melihat secara langsung tentang sejarah-sejarah tersebut.

Ia mengatakan ada aturan ketat yang tertulis secara resmi dari Pemerintah Arab Saudi bahkan ada denda jika ditemukan pelaku pencoretan.

Seperti misalnya juga jika ditemukan coretan di tenda di Mina maka ada denda sejumlah uang untuk membersihkannya.

“Jadi kami imbau kesadaran  seluruh pihak untuk bersama-sama menjaga kebersihan bahkan juga kesucian tempat-tempat yang punya nilau sejarah besar," katanya.

Baca juga: Berniat umrah di batas tanah halal Masjid Aisha

Baca juga: PPIH imbau jamaah haji Indonesia tak coreti situs bersejarah

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019