Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum Profesor Pantja Astawa menjelaskan berdasarkan azas asersi, auditor BPK harus mengonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan, baik  keuangan, kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu diantaranya pemeriksaan investigasi.

"Pemeriksa harus berpegang kepada UU 15/2006 tentang BPK dan Peraturan BPK Nomot 1/2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)," kata Guru Besar Hukum Administrasi Negara Unpad itu kepada media di Jakarta, Jumat.

Pantja menjelaskan hal itu menanggapi pernyataan Capim KPK Nyoman Wara di depan panitia seleksi (pansel) bahwa selaku Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dirinya tidak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee dalam melaksanakan audit investigasi.

Dalam tes wawancara oleh pansel di Kementerian Sekretariat Negara, Selasa (27/8), Nyoman menyatakan sebagai auditor BPK tidak melakukan konfirmasi terhadap auditee saat melakukan audit investigasi, termasuk dalam kasus SKL BLBI.

Nyoman Wara menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara. Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun.

Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006 dinyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim (SN).

Nyoman Wara menjelaskan perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.

Baca juga: Komisi Kejaksaan disarankan mengklarifikasi intervensi Jaksa Agung
Baca juga: Saut: Pimpinan KPK harus berintegritas dan independen
Baca juga: Penasihat KPK: Ancaman mundur demi ingatkan pansel capim


Pantja mengingatkan dari data yang dimiliki, audit BPK 2002 juga merupakan audit investigatif, bukan audit kinerja.

Pantja yang juga mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK menegaskan bahwa dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur.

Pertama, laporan hasil pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK. Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan.

Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu azas asersi. Azas yang mewajibkan auditor memeriksa pihak yang diperiksa. Yang diperiksa harus dikonfirmasi apapun jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK.

"Maksudnya agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah dan membela diri," katanya.

Azas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK.

"Ada ketentuannya. Azas asersi ini mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (5) UU BPK," ungkap Pantja.

Adapun pada Pasal 6 Ayat (5) disebutkan dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.

"Jadi kalau 3 hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum. Kalau azas asersi ini tidak dipenuhi, saya berani katakan LHP dinyatakan batal demi hukum. Kenapa? Karena norma undang-undang menentukan demikian," tegasnya.
 

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019