Brisbane (ANTARA News) - Laporan hasil penelitian terbaru Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) mengungkapkan, minimnya jumlah anak-anak muda Australia yang belajar di Indonesia berdampak negatif terhadap hubungan bilateral kedua negara dalam jangka panjang. Dalam laporan riset bertajuk "Seeing Indonesia as a normal country: Implications for Australia" yang dikutip ANTARA News di Brisbane, Rabu, terungkap bahwa minimnya jumlah warga Australia yang belajar di Indonesia ini terbukti telah memberikan kontribusi pada miskinnya pengetahuan mereka tentang Indonesia. Hasil survei Institut Lowy yang berbasis di Sydney tahun 2006 menunjukkan sebagian besar warga Australia yang menjadi responden survei tersebut tidak menyadari bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokratis. Perihal rendahnya jumlah para mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia ini dapat dilihat dari data peserta program Konsorsium Australia untuk Studi-Studi Indonesia di Indonesia (ACICIS). Data ACICIS yang dikutip dua Indonesianis kondang, Prof. Andrew MacIntyre dan Dr.Douglas E Ramage, dalam laporan riset mereka yang resmi dipublikasi ASPI pada 27 Mei 2008 itu menyebutkan, jumlah mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia tidak lebih dari 100 orang saja. Untuk itu, kedua Indonesianis ini menekankan pada pentingnya peningkatan hubungan antar-masyarakat untuk memperkuat bangunan hubungan bilateral Indonesia-Australia dalam jangka panjang. Urgensi pemerintah Australia untuk memberikan perhatian pada hubungan antar-masyarakat ini didasarkan pada kenyataan bahwa tantangan jangka panjang bagi kedua bangsa adalah soal ketidakpercayaan di tingkat publik dan lebarnya jurang pemisah antara konsensus elit-elit pembuat kebijakan di kedua negara, kata mereka. "Karena alasan geopolitis, ketidakpercayaan memang lebih mendalam di sisi (publik) Australia, tetapi sejak adanya kasus Timor Timur, ketidakpercayaan itu tumbuh di kedua rakyat. Kunci penting dari tumbuhnya ketidakpercayaan ini adalah karena tidak ada saling saling-pengertian," kata mereka. Dalam hal ini, saling berkunjung antarwarga kedua negara, baik untuk tujuan berlibur (pariwisata), belajar dan kontak bisnis menjadi penting karena para wisatawan, pelajar, dan pengusaha inilah orang-orang yang akan menjadi membantu terbangunnya saling pengertian di kedua bangsa, kata mereka. Untuk mendukung hubungan antarmasyarakat ini, program-program pertukaran yang disponsori pemerintah bisa mulai diarahkan pada para kepala daerah kabupaten dan kota, birokrat di daerah dan kepala sekolah swasta. "Program-program ini juga melibatkan pertukaran para ahli bidang energi di daerah-daerah terpencil, para ahli bidang pengelolaan air bersih ataupun para pengasuh program dialog di stasiun radio," kata mereka. MacIntyre dan E Ramage mengatakan Australia sudah saatnya pula tidak lagi hanya sibuk mengatasi masalah kesalahpahaman tetapi juga mulai membangun kerja sama dan kepercayaan melalui program kemitraan dengan berbagai organisasi keislaman di Indonesia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008