Brisbane (ANTARA News) - Pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd sudah berjalan sekitar enam bulan, namun ia tak ada beda dengan rezim John Howard yang digantikannya dalam memandang negara jirannya, Indonesia. Bagi Pemerintahan Kevin Rudd, Indonesia tetaplah sebuah negara "abnormal" dan tidak aman bagi para warga negaranya untuk secara bebas dikunjungi, walaupun rekam jejak kesuksesan Indonesia dalam menumpas jaringan terorisme mendapat pengakuan dunia. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT) hingga Jumat (30/5) tetap mengelompokkan Indonesia ke dalam 15 negara di dunia yang patut diwaspadai setiap warga negaranya sebelum memutuskan untuk berkunjung. Kalau Pemerintah Amerika Serikat (AS) sudah mencabut peringatan perjalanan (travel warning) untuk Indonesia menyusul sukses besarnya dalam menumpas jaringan terorisme dan menjaga keamanan negeri, Australia tak merasa perlu dengan pengakuan AS ini. Dimata DFAT, kondisi Indonesia tak berbeda dengan Aljazair, Angola, Republik Demokrasi Kongo, Timor Leste, Eritrea, Etiopia, Haiti, Liberia, Nigeria, Pakistan, Saudi Arabia, Sri Lanka, Yaman, dan Zimbabwe. Peringkat status "travel advisory" (saran perjalanan) yang diberlakukan DFAT kepada Indonesia ini tidak pernah berubah sejak era Howard hingga kubu Partai Buruh berkuasa di Canberra, yakni level empat atau hanya terpaut satu tingkat di bawah level lima (dilarang untuk dikunjungi). Makna di balik peringatan perjalanan level empat itu adalah setiap warga Australia yang berniat berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia diminta untuk "mempertimbangkan kembali" rencana mereka itu karena alasan keamanan (ancaman terorisme). Dua daerah di Indonesia yang terlarang bagi warga Autralia untuk dikunjungi adalah Maluku dan Sulawesi Tengah karena alasan "situasi keamanan yang tidak stabil dan resiko serangan teroris". Bagaimana dengan puluhan provinsi lain di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Bali? Semua daerah di luar Maluku dan Sulawesi Tengah itu juga tak aman bagi warga Australia karena DFAT menuding ancaman serangan teroris bisa terjadi di mana saja. Alasan ancaman terorisme ini tetap tak pernah lekang dari teks penjelasan "travel advisory" DFAT sejak beberapa tahun terakhir. Kementerian yang kini dipimpin Stephen Smith ini tetap berdalih bahwa pihaknya "terus menerima laporan-laporan yang mengindikasikan adanya rencana serangan teroris terhadap sejumlah target, termasuk kepentingan-kepentingan Barat dan tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang asing". Tampaknya kondisi psikologis pemerintah federal Australia di bawah PM Rudd tetap tak berubah, yakni masih saja tunduk pada "ketakutan" yang ingin diciptakan para radikalis dari serangkaian aksi terorisme mereka tahun 2002, 2003, 2004, dan 2005. Media Australia pun umumnya doyan memelihara rasa takut publik negara itu dengan memberikan ruang bagi isu-isu radikalisme dalam Islam dengan mengumbar berita-berita di seputar Ustadz Abu Bakar Ba`asyir secara konsisten. Ustad Ba`asyir sempat dikait-kaitkan dengan insiden Bom Bali 2002 dan pada 3 Maret 2005, tokoh Islam kelahiran Jombang 17 Agustus 1938 ini divonis bersalah dalam Bom Bali 2002 dan dihukum 2,6 tahun penjara. Ia dibebaskan pada 14 Juni 2006. Dalam persoalan Ba`asyir, Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith pun pernah angkat bicara. Pada 24 Maret lalu misalnya, ia mengeluarkan pernyataan pers khusus yang mengecam seruan kontroversial Pemimpin Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, ini agar umat Islam bersikap keras terhadap para turis Australia yang tidak menghormati cara-cara Islami. Seruan kontroversi pemimpin Majelis Mujahiddin Indonesia itu mencuat ke publik Australia setelah media setempat mempublikasikan isi rekaman video ceramah agama Ba`asyir di depan ratusan warga desa di Jawa Timur, Oktober 2007. Ketakutan dan salahpaham publik Australia terhadap Indonesia yang dipicu oleh hal-hal semacam kontroversi Ustadz Ba`asyir agaknya sengaja dipelihara oleh media walaupun pada saat yang sama, Menlu Stephen Smith sendiri juga memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Indonesia dalam menumpas jaringan terorisme. Menlu Smith berulang kali mengapresiasi keberhasilan Indonesia dalam menghukum setidaknya 180 orang pelaku aksi terorisme sejak tahun 2000 namun level status "travel advisory" Indonesia tetap tak kunjung berubah. Dalam masalah terorisme, tak ada yang bisa menyangkal fakta bahwa rakyat Indonesia dan Australia sama-sama merupakan korban kekerasan para militan seperti terlihat dalam insiden 2002, 2004, dan 2005. Karenanya, terorisme merupakan musuh bersama kedua bangsa. Hanya saja, tanpa bermaksud menafikan tanggungjawab pemerintah Australia terhadap keselamatan jiwa warganya di luar negeri dan apalagi mengecilkan perih di hati para keluarga korban bom Bali 2002 dan 2005 di negara itu, apakah pantas jika Canberra terus-menerus menyamakan kondisi Indonesia dengan Pakistan atau Zimbabwe? Di tengah kondisi seperti ini, sulit untuk mengharapkan terbangunnya hubungan yang setara dan saling menguntungkan antara Australia dan Indonesia. Berbagai komitmen kerja sama yang telah disepakati pemerintah kedua negara dalam bentuk nota kesepahaman maupun perjanjian bilateral tidak bisa dengan mulus dilaksanakan secara timbal balik karena kendala "travel advisory". Sebagai contoh, Perjanjian Keamanan Indonesia-Australia (Perjanjian Lombok) yang sudah resmi berlaku sejak 7 Februari 2008 dan menjadi landasan kuat bagi kedua negara untuk meningkatkan hubungan bilateral itu memuat 10 butir kerja sama. Ke-sepuluh poin kerja sama dalam Perjanjian Lombok itu adalah kerja sama di bidang pertahanan, penegakan hukum, kontra terorisme, intelijen, keamanan maritim, keselamatan pembangunan dan keamanan pencegahan senjata pemusnah massal. Seterusnya kerja sama tanggap darurat, kerja sama dalam organisasi dunia menyangkut isu-isu keamanan, serta kerja sama antarmasyarakat (people-to-people). Terhadap ke-10 poin kerja sama ini, masalah keamanan, khususnya kontra-terorisme, menjadi bagian dari kepentingan besar Australia namun tidak demikian halnya dengan kerja sama antarmasyarakat. Paling Dirugikan Bidang kerja sama di tingkat masyarakat, seperti program pertukaran siswa dan guru, riset dan pendidikan, bisnis dan pariwisata adalah sektor paling dirugikan oleh pemberlakuan "travel advisory". Menlu Australia Stephen Smith mengatakan, pihaknya menempatkan perlindungan, keamanan dan keselamatan warga negaranya di luar negeri sebagai prioritas kementeriannya namun bagaimana menyeimbangkan tanggungjawab pemerintah kepada para warganya itu dengan kepentingan investasi hubungan kedua negara melalui penguatan hubungan di tingkat rakyat, belum ada langkah konkrit ke arah itu. Pemberlakuan "travel advisory" terhadap Indonesia ini dinilai banyak pihak di Australia sendiri sebagai penghambat bagi program kerja sama antarlembaga pendidikan maupun hubungan antar-masyarakat kedua negara. Para siswa Australia yang ingin memperbaiki tingkat kemampuan berbahasa Indonesia mereka terhambat ke Indonesia sehingga mereka pergi ke Malaysia untuk belajar bahasa Indonesia. Bahkan, program penataran bahasa Indonesia bagi para guru di SMA-SMA Australia yang didukung Departemen Pendidikan dan Pelatihan negara itu justru diselenggarakan di Darwin, Northern Territory (NT), sedangkan para guru bahasa asing lainnya mengikuti program yang sama di negara asal bahasa asing yang mereka ajarkan di sekolah. Seperti diakui banyak guru dan akademisi Australia yang ditemui dalam berbagai kesempatan, pihak lembaga pendidikan di mana mereka bertugas enggan mengambil risiko beban biaya asuransi yang tinggi jika mereka tetap mengizinkan para staf pengajar mereka berkunjung ke Indonesia akibat pemberlakuan "travel advisory" level empat ini. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dengan sikap kukuh Australia yang tak hendak memperbaiki peringkat "travel advisory" bagi Indonesia. Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajuda saat bertemu dengan Menlu Stephen Smith di Perth, Australia Barat, 7 Februari lalu, misalnya, sempat mengangkat isu "travel advisory" ini. Menlu Wirajuda mengatakan, "travel advisory" yang dikeluarkan Australia untuk Indonesia sejak insiden serangan teroris 11 September 2001 di AS ini sudah menghambat upaya kedua negara membangun dan memperkuat hubungan di tingkat-masyarakat. Ia mengambil contoh kehadiran sekitar 16 ribu orang pelajar dan mahasiswa Indonesia di Australia yang disebutnya sebagai investasi bersama kedua negara dalam memperkuat hubungan jangka panjang. Sebaliknya, Indonesia pun berkeinginan lebih banyak mahasiswa Australia datang dan belajar di Indonesia. "Kami akan menyambut kedatangan lebih banyak pelajar/mahasiswa Australia belajar di Indonesia," katanya. Apa yang menjadi keprihatinan Menlu Wirajuda tentang minimnya mahasiswa Australia belajar di Indonesia ini sejalan dengan hasil penelitian Pakar Politik yang juga Direktur Sekolah Ekonomi dan Pemerintah Crawford Universitas Nasional Australia, Prof.Dr.Andrew MacIntyre, dan Wakil Yayasan Asia di Indonesia, Dr.Douglas E Ramage. Dalam laporan hasil riset mereka yang dipublikasi Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) 27 Mei 2008 lalu, terungkap bahwa minimnya jumlah anak-anak muda Australia yang belajar di Indonesia berdampak buruk bagi hubungan kedua negara dalam jangka panjang. Laporan riset bertajuk "Seeing Indonesia as a normal country: Implications for Australia" itu mengungkapkan, minimnya jumlah warga Australia yang belajar di Indonesia ini telah memberi kontribusi pada miskinnya pengetahuan mereka tentang Indonesia. Argumentasi MacIntyre dan E Ramage ini didukung oleh hasil survei "Lowy Institute" tahun 2006 yang menunjukkan sebagian besar warga Australia yang menjadi responden survei itu tidak menyadari bahwa Indonesia adalah sebuah negara demokratis. Perihal rendahnya jumlah para mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia ini dapat dilihat dari data peserta program Konsorsium Australia untuk Studi-Studi Indonesia di Indonesia (ACICIS). Data ACICIS yang dikutip Prof.Andrew MacIntyre dan Dr.Douglas E Ramage itu menyebutkan, jumlah mahasiswa Australia yang belajar di Indonesia tidak lebih dari 100 orang saja. Bagi kedua Indonesianis ini, hubungan antar-masyarakat merupakan faktor penting bagi penguatan bangunan hubungan bilateral Indonesia-Australia dalam jangka panjang. Urgensi bagi pemerintah Australia untuk memberi perhatian pada hubungan di tingkat rakyat ini didasarkan pada kenyataan bahwa tantangan jangka panjang bagi Indonesia dan Australia adalah soal relatif tingginya ketidakpercayaan di tingkat publik dan lebarnya jurang pemisah antara konsensus para elit pembuat kebijakan di kedua negara. "Karena alasan geopolitis, ketidakpercayaan memang lebih mendalam di sisi (publik) Australia, tapi sejak adanya kasus Timor Timur, ketidakpercayaan itu tumbuh di kedua rakyat. Kunci penting dari tumbuhnya ketidakpercayaan ini adalah adanya ketidaksaling-pengertian," kata mereka. Dalam hal ini, saling berkunjung antarwarga kedua negara, baik untuk tujuan berlibur (wisata), belajar maupun kontak bisnis menjadi penting karena melalui para wisatawan, pelajar, dan pengusaha inilah akan terbangun saling pengertian di kedua bangsa, kata mereka. Akankah pemerintahan PM Kevin Rudd menanggapi serius rekomendasi laporan penelitian terbaru ASPI bagi kepentingan hubungan bilateral Australia-Indonesia yang setara dan saling menguntungkan? Atau sebaliknya, pemerintahan PM Rudd tak berbeda dengan rezim pendahulunya yang tetap "tunduk" pada "kondisi takut" yang diinginkan para teroris dari aksi-aksi yang pernah mereka lakukan di Indonesia? (*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008