Bogor (ANTARA News) - Jumlah penduduk perempuan di Indonesia yang lebih dari 50 persen belum diimbangi dengan keterwakilan perempuan dalam dunia politik, padahal politisi perempuan mampu mengubah dunia politik yang sarat konflik menjadi lebih damai. Dua anggota Komisi VII DPR-RI, Nursyahbani Katjasungkana dan Yuliani Paris, mengatakan hal itu saat berbicara pada diskusi "Perempuan 2009: Siapa, Menjadi Apa, Bagaimana?" di Kampus STIE Kesatuan Kota Bogor, Jabar, Sabtu. "Banyaknya anggota perempuan di parlemen, khususnya di DPR-RI, membawa perubahan suasana dewan menjadi lebih hangat dan elegan," kata Yuliani Paris. Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) DPR-RI ini mengatakan, perempuan yang menjadi politisi tidak harus mengubah sikapnya menjadi maskulin, tapi ia harus bisa mengubah politik menjadi lebih familiar. Menurut Nursyahbani Katjasungkana, ada perbedaan karakter antara politisi laki-laki dan perempuan. Menurut dia, perempuan lebih fleksibel, lebih peduli, lebih berempati, dan tidak ingin menguasai orang lain. Kebalikan dengan politisi laki-laki, kata dia, bersikap tegas dan keras, kurang peduli, kurang berempati, dan cenderung ingin mengusai orang lain. "Dominasi laki-laki dalam politik, cenderung terjadi konflik," kata anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) ini. Apalagi budaya politik di Indonesia, kata dia, politisi yang jelas berseberangan dengan pemimpin terpilih akan disingkirkan. Kondisi tersebut ditambah dengan kecenderungan laki-laki ingin menguasai, sehingga banyak berdiri partai-partai baru setiap menjelang Pemilu. Dikatakannya, dalam kondisi politik saat ini, dibutuhkan pemimpin dan politisi perempuan. Apalagi, dalam UU Politik sudah diamanahkan keterwakilan perempuan dalam politik sebanyak 30 persen. Menurut Yuliani, amanah ini harus diperjuangkan oleh kaum perempuan yang berpendidikan dan trampil untuk mengisinya. "Jabatan itu tidak datang sendiri atau tidak diberikan oleh orang lain, tapi harus diperjuangkan. Perempuan harus percaya diri dan berjuang mengisi keterwakilannya di parlemen," kata dia. Ia mengakui, masih minimnya jumlah perempuan dalam kehidupan politik, terutama di daerah, karena budaya patriarki masih sangat dominan. Dalam budaya ini, laki-laki lebih dominan sedangkan perempuan dianggap lemah dan tidak mampu. "Dalam penyusunan daftar calon legislatif, untuk memenuhi kuota 30 persen perempuan, sangat sulit dipenuhi di daerah kabupaten/kota, karena masih kuatnya budaya patriarki di kepengurusan partai politik di daerah," katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008