Padang (ANTARA) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengimbau semua masyarakat untuk saling menghargai dan menjaga perasaan masyarakat Papua di tengah ketegangan yang terjadi di daerah timur Indonesia itu.

"Kita sendiri harus menjaga perasaan masing-masing, untuk menjaga keharmonisan bangsa ini. Disamping juga kita harus mengetahui masalah yang timbul di daerah ini," kata JK dalam acara Silaturahmi Wapres bersama Pemerintah dan Masyarakat Sumatera Barat di Hotel Grand Inna Padang, Senin malam.

Wapres menjelaskan rangkaian kericuhan Papua yang terjadi sejak pertengahan Agustus lalu sebenarnya dipicu oleh persoalan ujaran kebencian yang menyinggung perasaan masyarakat asli Papua. Ujaran kebencian itu memicu persoalan lama yang dirasakan masyarakat Papua hingga menginginkan untuk memisahkan diri dari Indonesia.

"Disamping spirit fundamental daripada keinginan untuk memisahkan diri, juga khususnya disebabkan karena satu kata yang menyebabkan letupan, yang kita tahu semuanya yang dipersoalkan adalah kata 'monyet'," kata JK.

Ujaran kebencian memang menjadi pemantik yang mudah membakar emosi kelompok masyarakat hingga menyebabkan aksi unjuk rasa. Contoh kasus ujaran kebencian yang menimbulkan aksi massa besar juga terjadi pada 2017 di Jakarta, yakni kasus yang menimpa mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

"Juga pada saat dua atau tiga tahun lalu terjadi demo besar di Jakarta. Itu juga karena satu kata 'Al-Maidah'," tambahnya.

Oleh karena itu, Wapres meminta kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menghargai perbedaan yang ada, baik suku, agama, ras dan golongan, dengan menekankan sikap saling menghargai dan tidak memprovokasi situasi konflik.

Wapres berharap persoalan di Papua dapat segera selesai dengan baik dan tetap menjaga persatuan dan keharmonisan bangsa.

"Mudah-mudahan kita mendapat penyelesaian yang baik, walaupun kadang-kadang terjadi kesalahpahaman. Maka bagaimana caranya kita tetap mengambil peran besar dengan kelebihan masing-masing, dan menjaga keharmonisan suatu bangsa," ujarnya.

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019