Brisbane (ANTARA News) - Belasan mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQ), Brisbane, Kamis siang, mendapat penjelasan tentang bagaimana menjaga integritas akademis mereka melalui pemanfaatan program komputer pelacak dugaan plagiarisme yang disebut "Turn-It-In". Diskusi tentang seluk beluk plagiarisme dan bagaimana program "Turn-It-In" ini membantu melacak dugaan plagiat dalam karya-karya akademis anggota civitas akademika itu disampaikan Peneliti Demografi asal Indonesia, Dr Salahudin (Salut) Muhidin. Peneliti yang kini bekerja untuk Sekolah Geografi UQ itu mengatakan, UQ terus berupaya membangun integritas akademik para mahasiswanya melalui penerapan program yang telah juga digunakan ribuan lembaga pendidikan tinggi di lebih dari 80 negara ini. Plagiat di atas 3 persen sudah lampu merah Plagiarisme yang secara umum dimaknai sebagai tindakan seseorang yang menggunakan ide atau tulisan orang lain tanpa menyebutkan sumber rujukannya merupakan ancaman serius bagi integritas akademik kalangan civitas akademika, katanya. Berdasarkan pengalamannya menilai tugas esai akademis para mahasiswa UQ yang diasuhnya, ia mengatakan, pemakaian program "Turn-It-In" untuk melacak potensi terjadinya plagiarisme hanya sekadar alat bantu untuk melihat persentase plagiat di setiap esai. "Kalau persentasenya di atas tiga persen, itu berarti `sudah lampu merah` tapi kalau satu persen belum apa-apa," katanya. Menurut doktor bidang demografi lulusan Universitas Groningen, Belanda, tahun 2002 itu, program "Turn-It-In" ini tidak lebih dari sekadar "alat kontrol" dan "alat bantu" saja namun wawasan dosenlah yang pada akhirnya menentukan apakah karya mahasiswanya tergolong plagiat yang mengancam integritas akademik atau masih dalam batas wajar. Program ini, lanjut Salut Muhidin, bukan tanpa kelemahan. Program ini cenderung tidak bisa melacak potensi plagiat dari karya-karya tulis akademik hasil terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris maupun karya-karya yang belum dipublikasi. Bukan faktor bahasa tapi mental Mengenai apakah potensi plagiarisme di lembaga-lembaga pendidikan tinggi berbahasa Inggris seperti UQ lebih mungkin dilakukan oleh kalangan mahasiswa asing dari negara-negara non-berbahasa Inggris daripada mahasiswa Australia, ia mengatakan, masalah ini tidak semata-mata persoalan penguasaan bahasa Inggris melainkan lebih terkait dengan mentalitas, motivasi, dan daya juang mahasiswa yang bersangkutan. Beberapa faktor yang membuat sejumlah anggota civitas akademika, seperti mahasiswa, tergelincir ke dalam plagiarisme adalah movitasinya yang semata-mata mengejar nilai tanpa memerhatikan pentingnya menjaga integritas akademik, ikut-ikutan, dan kemalasan, katanya. Dr.I Nyoman Darma Putra, pakar sastra Indonesia Universitas Udayana yang kini mengajar bahasa Indonesia di UQ, sependapat dengan Dr.Salut Muhidin. Darma Putra mengatakan, para mahasiswa program diploma maupun sarjana di berbagai perguruan tinggi di Indonesia pun sudah saatnya mengikuti kebiasaan akademik rekan-rekan mereka di luar negeri saat menyerahkan skripsi/tesis mereka. Kebiasaan baik yang menggambarkan tanggungjawab pribadi mahasiswa terhadap orisinalitas laporan riset (skripsi/tesis)-nya itu adalah penulisan pernyataan tentang orisinalitas karya dan diikuti dengan pembubuhan tanda tangan langsung mahasiswa yang bersangkutan, katanya. Selama ini, yang membubuhkan tandatangan di salah lembar halaman skripsi/tesis mahasiswa di Indonesia bukan mahasiswa bersangkutan, melainkan dosen pembimbing dan penguji serta birokrat program studi/jurusan, katanya. Di UQ, mahasiswa bersangkutan yang menandatangani sub-tesis atau tesis mereka karena mereka harus menunjukkan tanggungjawabnya terhadap orisinalitas karyanya sesuai dengan aturan akademik yang berlaku, katanya. Acara diskusi yang berlangsung selama satu setengah jam di Chamberlain Building (gedung 35) Ruang Seminar 514 Sekolah Geografi UQ itu didukung oleh Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland (UQISA).(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008