Ketua DPR RI Soroti Ketimpanga (ANTARA) - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo menyoroti permasalahan tingginya angka ketimpangan global, terutama berdasarkan laporan Oxfam International 2019 menyebutkan bahwa pada tahun 2018 saja, ada 26 orang terkaya dunia yang memiliki kekayaan bersih dari setara 3,8 miliar warga mancanegara.

Bambang Soesatyo dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis, menyebutkan bahwa kekayaan 2.200 miliarder yang ada di seluruh dunia tumbuh 12 persen, namun pendapatan penduduk miskin sejagat turun 11 persen. Laporan tersebut juga menyebutkan, sekitar 147 miliarder terkaya dunia mengendalikan sekitar 1 persen dari kekayaan global.

"Data lain dari Swiss Credit Suisse memaparkan antara Maret-Juni 2017 hingga Maret-Juni 2018, kekayaan orang super kaya tumbuh sebesar 2,5 miliar dolar AS rata-rata perhari, sementara pendapatan setengah populasi penduduk dunia berkurang 500 juta dolar per hari," kata Bambang Soesatyo.

Bambang menyebutkan bahwa data-data tersebut menggambarkan betapa ketimpangan warga dunia, khususnya dalam peluang, pendapatan, dan kemampuan, sehingga merupakan hal yang harus diperangi bersama di tingkat internasional.

Ketua DPR RI menegaskan, Indonesia sangat berkomitmen terhadap suksesnya implementasi Sasaran Pembangunan Global (SDGs) karena nilai yang terkandung di dalamnya sejalan dengan fokus kebijakan Indonesia dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Salah satunya, ujar politisi Partai Golkar tersebut, adalah dengan memberikan akses permodalan kepada 58 juta lebih usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mempekerjakan 89 persen tenaga kerja sektor swasta, dengan berkontribusi 60 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).

"Berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga didorong mendukung pengembangan ekonomi kerakyatan. Antara lain sampai dengan akhir tahun 2018 lalu, program Kredit Usaha Rakyat (KUR) mampu menyalurkan Rp270 triliun dan menjangkau 13,24 juta debitur, pemberdayaan pelaku usaha super mikro kepada 4,93 juta nasabah kelompok perempuan prasejahtera dengan menyerap dana Rp10,61 triliun, serta pendampingan kepada 293.295 nasabah usaha mikro kecil dengan menyerap dana sebesar Rp21,21 triliun," ucapnya.

Sebelumnya, ekonom Hisar Sirait menilai pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur secara jangka panjang merupakan jawaban tepat untuk memperkecil ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa serta mampu menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru di Indonesia.

"Secara jangka panjang, pemindahan ibu kota negara Indonesia merupakan jawaban terbaik bagi kita untuk membangun negara ini, untuk bisa menyatakan bahwa kesenjangan ekonomi bisa diperkecil atau diminimalisir apabila kita berhasil menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru di seluruh wilayah Indonesia. Lewat apa? Lewat pemerataan pusat-pusat bisnis," ujar ekonom yang menjabat sebagai Rektor Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie tersebut saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin (26/8).

Pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa sebetulnya dinilai sebagai upaya untuk mengantisipasi bagaimana perekonomian akan berubah, selain itu jika memang semua pusat bisnis dan ekonomi berada di Jakarta maka tidak akan bisa memberikan multiplier effect terhadap provinsi-provinsi yang lain dalam jangka panjang.

Dengan demikian akan selalu ada kesenjangan-kesenjangan pembangunan antara Jawa dengan luar Jawa. Kalimantan sudah saatnya harus menerima manfaat dan kemajuan ekonomi melalui pemindahan ibu kota negara.

Sebagaimana diwartakan, Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berkomitmen untuk mengatasi ketimpangan antara jumlah pasokan dan permintaan di bidang perumahan khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

"Salah satu akar permasalahan dari penyediaan perumahan di Indonesia adalah kesenjangan antara pasokan dan permintaan rumah," kata Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Eko D Heripoerwanto dalam pembukaan acara Lokakarya tentang Perumahan Terjangkau di Jakarta, Rabu (14/8).

Sebagaimana diketahui, pada saat ini masih ada sebagian warga yang masih belum bertempat tinggal di perumahan yang layak, termasuk di antaranya mereka yang tinggal di perkampungan padat kota.

Apalagi, ia mengemukakan bahwa sekitar 50 persen populasi Indonesia tinggal di perkotaan, dan diperkirakan jumlah tersebut bakal mencapai hingga 70 persen pada tahun 2030 mendatang.

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019