Jakarta (ANTARA) - Sudah bukan rahasia lagi bahwa investasi pada minyak dan gas bumi (migas) merupakan bisnis padat modal. Seakan belum cukup menantang, selain padat modal, investasi pada sektor ini memiliki risiko bisnis yang tinggi, sebab belum tentu setiap eksplorasi yang berharga jutaan dolar As dapat berujung pada eksploitasi.

Lantas, apa yang masih membuat investasi migas tetap menarik? tentu saja keuntungan pasar, di mana migas masih memegang peranan penting di ekonomi global, bahkan dapat mempengaruhi pasar segala lini.

Pergeseran migas konvensional memiliki kekurangan dalam konsistensi bisnisnya, yaitu ketersediaan materi, sebab energi fosil masih menjadi tulang punggung utama investasi ini, sedangkan alam menyediakannya secara terbatas.

Untuk memaksimalkan keterbatasan pada ketersediaan alam, prediksi dan akurasi adalah hal penting dalam memulai pengembangan investasi migas, siapa yang dapat memprediksi paling akurat mengenai potensi eksplorasi cadangan migas, maka ia adalah pemain besar di migas.

Oleh karena itu, penguasaan data adalah hal mutlak untuk merajai kepastian usaha energi fosil. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri, sebagai regulator dalam perannya, telah menyatakan siap memperkuat kolaborasi dengan investor minyak dan gas bumi (migas) pada era keterbukaan data.

Pemerintah sudah saatnya mulai merangkul dan membuka ruang dialog bagi investor guna mengakomodir kendala-kendala di lapangan yang penuh ketidakpastian dalam eksplorasi migas Indonesia.

“Pada dasarnya, prioritas kami adalah bagaimana bisa membantu investor untuk mengeksplorasi sumber daya migas di Indonesia,” kata Agus Cahyono Adi, selaku Head of Data dan Information Technology Center Kementerian ESDM.


Baca juga: Pemerintah luncurkan laporan transparansi industri migas dan minerba
Baca juga: Era baru kebangkitan industri migas nasional


IPA Convex 2019, atau ajang forum pertemuan bagi para pemangku kepentingan migas menjadi salah satu media utama dalam mewadahi ruang dialog tersebut.

Saat ini, Pemerintah diketahui telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 7 Tahun 2019 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Minyak dan Gas Bumi. Namun, menurut masih terdapat sejumlah tantangan dalam implementasi, di antaranya besarnya volume data yang harus dikelola, kelengkapan dan keakuratan metadata, hingga kepatuhan pengiriman data baik secara digital maupun fisik.

Tantangan lainnya adalah terkait dengan format standar data dan jadwal pelaporan serta kapasitas penyimpanan data secara digital. Oleh karena itu Pemerintah perlu mendorong para pemangku kepentingan di industri ini untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas data yang ada.

“Kami melakukan yang terbaik untuk bisa menyediakan data migas kepada publik termasuk calon investor. Tapi kemampuan kami terbatas. Kita harus kolaborasi untuk sama-sama membangun basis data yang lebih baik. Target kami, bagaimana eksplorasi bisa lebih cepat dan menghasilkan,” tuturnya.

Saat ini, informasi terkait data di sektor hulu migas dapat diakses melalui www.datamigas.esdm.go.id. Akses terbagi menjadi dua jalur, yakni anggota dan non-anggota. Anggota bisa memperoleh semua data yang tersedia, sedangkan non-anggota hanya dapat mengakses data dasar dan umum saja. “Target Oktober (2019) sudah bisa memberikan service kepada member,” ujar Agus.

Sementara itu, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menegaskan dukungannya terhadap Kementerian ESDM untuk terus menyempurnakan iklim era keterbukaan data migas di Indonesia. Pasalnya, data merupakan salah satu kendala yang menghambat pertumbuhan investasi eksplorasi migas di Tanah Air.

“Kita harus belajar, apa yang salah di lapangan? Kenapa kita tidak mendapatkan eksplorasi baru yang besar? Terakhir itu Banyu Urip. Apa karena harga minyak rendah, atau karena berkurangnya investor? Yang pasti, bagi investor ada satu hambatan yaitu ketersediaan data,” ucap Wakil Kepala SKK Migas, Fatar Yani.
Menurutnya, regulasi baru terkait keterbukaan data diharapkan bisa mengakomodir sejumlah tantangan di sektor migas domestik khususnya penurunan produksi.

SKK Migas menginginkan produksi migas nasional pada tahun ini bisa lebih baik dibandingkan dengan 2014. “Kalau kita hanya mengikuti tren penurunan alamiah, maka kita akan habis. Kita harus mencapai tingkat lebih tinggi, setidaknya meskipun produksi turun tetapi tidaklah drastis,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Alex Dolya selaku Partner dan "Managing Director of BCG" menyebutkan ada tiga negara yang bisa menjadi contoh untuk implementasi keterbukaan data migas. Mereka adalah Norwegia, Inggris, dan Australia. Pada 1995, Norwegia mulai menciptakan gudang data nasional. Pihak luar yang hendak mengakses dikenakan biaya tertentu yang relatif rendah.

Kemudian pada 2013 gudang data migas diubah menjadi digital dengan pengaturan yang lebih baik. Upaya menjadikan Indonesia seperti ketiga negara tersebut jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. “Lompatan era keterbukaan data bagi Indonesia tidaklah seperti membalik telapak tangan. Tidak seketika sempurna seperti di Norwegia atau Inggris. Kita harus kolaborasi,” katanya.

Adapun Robert Shoup selaku VP Regions AAPG (asosiasi geologis migas Amerika) mengingatkan, Indonesia harus menyempurnakan standar prosedur serta standar format pelaporan data migas. “Harus ada prosedur agar perusahaan migas mau menyediakan data. Semakin banyak data untuk publik hal itu akan semakin bermanfaat bagi Pemerintah,” ujarnya.

Apabila kolaborasi data dan kepastian kebijakan mampu bersinergi dalam satu jalan, maka peningkatan produksi migas atau bahkan penemuan cadangan baru dalam meniti eksplorasi migas Indonesia akan memiliki kemungkinan lebih besar menuju penemuan cadangan baru. Selain peran manajemen data, efisiensi berbagai sektor akan menjadi titik kunci peningkatan produksi migas nasional.

Baca juga: Pemerintah dinilai perlu menata kembali iklim investasi migas
Baca juga: Mimpi industri migas menjaga ketahanan energi
Baca juga: Guru Besar UI sebut inovasi jadi tantangan produksi migas nasional

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019