merespons potensi lokal untuk dimunculkan sebagai bagian dari fragmen bangsa dan menjadi simbol diri suatu daerah
Sumba Barat Daya, NTT (ANTARA) - “Bagi saya kebudayaan dan kesenian yang terdapat di Sumba adalah titik intim hubungan manusia dengan leluhur dan Tuhan. Warga melakukan semua upaya berpenghidupan lewat tuntunan leluhur dan terikat oleh hukum-hukum,” kata seniman Ahmad Ijtihad.

Ahmad Ijtihad, salah satu di antara empat seniman yang diterjunkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI ke Kabupaten Sumba Barat Daya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam program Seniman Mengajar 2019.

Pria berasal dari Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, menyebut setiap fragmen kesenian terlahir dari ritual, sebut saja seni tari, musik, teknologi, hingga tata laku dalam keseharian. Hal itu seperti yang juga ditemui di Sumba.

Selama sekitar 40 hari (akhir Juli hingga awal September) berinteraksi dengan masyarakat adat, Ahmad Ijtihad, seniman bidang media ini melihat bahwa referensi mengenai kesenian dan kebudayaan Sumba masih minim.

Semua tindakan selalu dikembalikan kepada titah leluhur yang diteruskan oleh tokoh-tokoh adat dan orang tua, sementara upaya menuliskan dan mengarsipkan pengetahuan lewat medium teks, visual, dan audio masih belum banyak dilakukan.

Mengenai Marapu misalnya, belum banyak catatan yang membahas tentang konsep Marapu secara utuh, sedangkan yang ada pun sulit diperoleh karena pengarsipan yang belum rapi dan pesebaran kurang meluas.

Setidaknya, hal itu yang diamati Ahmad di beberapa kampung adat di Sumba Barat Daya. Dia memandang posisi literasi menjadi penting karena dapat menjadi gambaran awal tentang pengetahuan kearifan di tanah Sumba.

Setelah melakukan orientasi sekitar seminggu, dia memilih bergiat di Kampung Adat Wee Lewo lewat formula Berajahaksara, yaitu gerakan riset kolektif terhadap potensi ruang dan peristiwa masa yang diarsipkan melalui tulisan, foto, video, dan film.

Hasil pengarsipan yang disusunnya kemudian dibaca ulang melalui narasi-narasi kecil bersama warga serta diolah menjadi gagasan baru.

Berajahaksara memiliki dua mata pedang untuk mengeksplorasi belantara budaya di suatu tempat. Pertama bersifat pewacanaan, yaitu membaca untuk menemukan titik-titik potensi dan yang kedua bersifat kekaryaan, yaitu bentuk tanggapannya, kata Ahmad Ijtihad yang juga Direktur Program Berajahaksara itu.

Berajahaksara adalah sebuah program dari Yayasan Pasirputih sejak tahun 2013 yang hingga saat ini dan telah melakukan lokakarya di berbagai lokasi mulai dari ruang-ruang akademik hingga ruang-ruang intim di tanah adat. Selain itu. Berajahaksara memiliki kajian tentang kebudayaan daerah, khususnya Lombok Utara, yang telah digalakkan sejak dua tahun lalu di Masyarakat Adat Dusun Segenter Bayan, Lombok Utara.

Aktivitas Seniman Mengajar 2019 yang dilakukan Ahmad Ijtihad bersama warga adat Wee Lewo di Desa Mareda Kalada, Kecamatan Wewewa Timur adalah mengeksplorasi ruang, wawancara, dan berbagi pengetahuan dilanjutkan dengan membuat semacam katalog, selebaran, film dokumenter, dan video tentang potensi di situs kampung adat tersebut.

John Sairo Ndelu, warga setempat, mengungkapkan bahwa lokakarya Berajahaksara di Kampung Wee Lewo merupakan upaya yang baik untuk mengangkat potensi kampung.

“Bersyukur atas proses yang telah dilakukan bersama warga,” katanya.

Baca juga: Anton Prabowo ajak pelestarian tari sambil mencipta kreasi baru

                                                                                   Kampung tua
Wee Lewo (Wee Leo) merupakan kampung tua yang menjadi cikal bakal beberapa kampung lain di wilayah Wewewa.

Warga kampung menuturkan bahwa permukiman mereka sudah ada sejak ratusan tahun, sedangkan sosok pendirinya yang kharismatik adalah Rato Tena Bolo Goko Ratu bersama sejumlah tokoh lain yang hingga kini sudah mencapai generasi ke-14.

Di kampung tersebut terdapat sembilan rumah tradisional khas Sumba yang berbentuk rumah panggung, bagian bawah merupakan kendang hewan, kemudian di bagian tengah menjadi tempat tinggal, dapur, beranda disokong empat pilar dan tungku masak terdiri atas tiga batu.

Arsitektur rumah sumba memiliki atap berupa menara yang menjulang. Bisanya di bagian dalam dipergunakan sebagai lumbung pangan dan tempat menyimpan pusaka.

Penganut Marapu (agama lokal Sumba) meyakini rumah memiliki organ dan fungsi yang saling tertaut serta mewakili tingkat kehidupan makhluk, yaitu hewan, manusia, dan leluhur.

Sembilan bangunan di situs adat mempunyai nama-nama dan fungsi yang berbeda. Rumah Uma Tara Manu Ulle Wawi adalah rumah yang semula dibangun oleh Rato Tena Bolo Goko Ratu berfungsi sebagai tempat menjamu tamu/turis.

Uma Bina Bolla merupakan rumah yang berfungs sebagai palang pintu pada ritual adat Marapu, seperti pembangunan rumah serta ritual tetap setiap tiga dan tujuh tahunan.

Rumah adat Kabubu adalah kuburan keramat dan pengganti rumah besar yang musnah dalam kebakaran. Di rumah ini juga disimpan benda-benda pusaka.

Di tempat itu juga terdapat Natar semacam pelataran suci untuk menyembelih hewan secara adat dan memiliki mitos bahwa semakin banyak hewan yang disembelih di tempat tersebut maka Natar akan terlihat semakin luas.

Bangunan yang disebut Kamodo atau Marapu Kalada Katoda Lobo merupakan rumah sakral yang tidak boleh difoto. Bangunan ini memiliki keajaiban, dalam tiga kali kebakaran di kampung, rumah ini tidak musnah.

Terdapat makam-makam leluhur yang dimakamkan di kubur batu yang tertata di kampung yang terkesan asri.
Ada banyak larangan untuk rumah yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, misalnya tidak diperkenankan memakai barang-barang industri, listrik, pemantik, senter, dan banyak lainnya.

Uma Pullu merupakan bangunan tempat warga berkumpul untuk bermusyawarah menentukan ritual adat dan pesta adat.

Sebuah rumah disebut Uma Tanggu Dedo baru dibangun kembali pada 2013 setelah habis terbakar puluhan tahun yang lalu dan Uma Umbu Lage.

Kampung adat tersebut pernah terbakar tiga kali dan menghanguskan sebagian besar rumah-rumah yang berbahan kayu, bambu, dan atap alang-alang, serta memecah batu-batu kubur.

Warga kampung adat telah bersepakat mempertahankan keaslian rumah dan melestarikannya sebagai cagar budaya, apalagi kampung yang kini banyak dikunjungi oleh wisatawan itu juga telah memiliki festival tahunan sekitar Juni-Juli.

Pulau Sumba, terkhusus Sumba Barat Daya, menyimpan ribuan lokus kebudayaan daerah, seperti Wee Lewo yang menjadi bukti kehidupan yang harmonis antarwarga yang masih memegang teguh tradisi leluhur dan kini juga menjadi produk unggulan di sektor pariwisata dan budaya.

“Tugas saya sebagai pelaku program Seniman Mengajar adalah merespons potensi lokal untuk dimunculkan sebagai bagian dari fragmen bangsa dan menjadi simbol diri suatu daerah,” kata Ahmad Ijtihad yang mempresentasikan hasil pendokumentasiannya tentang Wee Lewo di Rumah Budaya Sumba pada 2 September lalu.

Melalui literasi dapat melakukan aktivasi kebudayaan. Katanya berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan oleh Berajahaksara.
 
Kegiatan Seniman Mengajar 2019, Ahmad Ijtihad bersama warga kampung adat Wee Lewo di Wewewa Timur Kabupaten Sumba Barat Daya (istimewa)


Baca juga: Lusiana Limono mengulik tenun Sumba Barat Daya
Baca juga: Agus Budi Nugroho dan musik Dungga Roro khas Sumba

 

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019