Tanjungpinang (ANTARA) - Kelenteng Tien Hou Kong atau Vihara Bahtra Sasana, di Jalan Merdeka, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Tanjungpinang, Kepulauan Riau direnovasi tanpa menggunakan tenaga ahli, padahal sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.

Ketua Pelestari Nilai Adat dan Tradisi (Pesilat) Kepulauan Riau, Yoan S Nugraha, di Tanjungpinang, Senin, menyesalkan renovasi benda cagar budaya tidak melibatkan tenaga ahli.

Ia mengkritik sikap pengelola Kelenteng Tien Hou Kong, yang dinilai sembarangan memperbaiki bangunan cagar budaya tersebut.

"Pemerintah setempat dinilai tak mengawasi cagar budaya tersebut," ujarnya.

Baca juga: Pemugaran gedung bersejarah SI Semarang rampung

Baca juga: Wanita budhis kenakan pakaian khas Sumsel pada perayaan Waisak


Kelenteng Tien Hou Kong merupakan cagar budaya tidak bergerak, di Tanjungpinang di bawah naungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Benda cagar budaya ini berusia 162 tahun.

"Jujur, kami miris melihat kondisi Vihara Bahtra Sasana yang diobrak-abrik seperti itu, meski alasannya untuk renovasi, tapi objek itu merupakan cagar budaya yang artinya punya nilai histori di setiap ruas dan jengkal pada area tersebut," ungkapnya.

Berdasarkan video dan foto-foto renovasi Kelenteng Tien Hou Kong, kelenteng itu dipugar dengan menghancurkan sebagian ruas atap kelenteng yakni patung naga. Bagian atap kelenteng itu pun dibongkar.

Terlihat beberapa pekerja berpakaian kaos tanpa didampingi ahli memotong tepian patung naga di rabung atap kelenteng.

Padahal jika dicermati, Klenteng Tien Hou Kong dilindungi UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Dalam pasal 15 UU Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dijelaskan setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.

Selain itu, dalam pasal itu dijelaskan pula tanpa izin dari pemerintah setiap orang dilarang membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia, memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya, mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat dan mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya, memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya, memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.

Menurut dia, pengurus kelenteng beserta dinas terkait berkoordinasi dan komunikasi dengan tim ahli sebelum memugar klenteng tersebut. Dia mengaku tak menjumpai tenaga ahli maupun pengawasan dinas terkait saat pekerja merubuhkan bagian atap klenteng.

"Kemarin saya sempat ke lokasi, sayangnya tak ada satupun tim ahli yang dilibatkan. Dinas terkait juga terkesan tidak tegas menyikapi hal ini," ujarnya.

Yoan menuturkan, apa jadinya kalau status cagar buya itu dicabut. Menurutnya, sangat disayangkan klenteng yang sudah berusia 162 tahun itu harus putus nilai sejarahnya hanya karena dipugar dengan cara yang kurang tepat.

Selaku ketua Lembaga Pelestari Nilai Adat dan Tradisi (Pesilat), dia dengan tegas meminta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang untuk melakukan tindakan penyelamatan terhadap situs tersebut.

"Penyelamatan terhadap situs yang dipugar, dan penyelamatan terhadap status cagar budaya yang melekat. Serta pihak vihara diberikan teguran tegas agar hal serupa tidak terjadi lagi ke depannya. Jika karena pemugaran ini status cagar budaya pada vihara itu dicabut, maka kami dari pesilat akan menuntut secara hukum pihak dinas dan pengelola klenteng," ujarnya.

Berdasarkan data Cagar Budaya Tidak Bergerak Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Klenteng Tien Hou Kong dikenal pula dengan nama Vihara Bahtra Sasana.

Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1857 oleh masyarakat Cina di Tanjungpinang dari etnis Hokien dengan kekhasan arsitektur dan masa gaya yang khas dari etnis Cina.

Pada tahun 1975, klenteng ini diresmikan sebagai vihara dan sampai sekarang masih digunakan dengan fungsi yang sama. Deskripsi Arkeologis Klenteng Tien Hou Kong dikenal pula dengan nama Vihara Bahtra Sasana, dilihat dari atas bangunan ini terbagi menjadi tiga ruang.

Sebagaimana halnya klenteng, Tien Hou Kong didominasi dengan warna merah, dinding, tiang, lantai hingga ke atap didominasi dengan warna merah.

Bagian atap dihiasi dua buah naga saling berhadapan mengapit mutiara yang berada di dalam bara api.

Pada ruang depan kelenteng yaitu ruang pertama dan kedua terdapat beberapa dewa yang biasa dipuja oleh orang-orang Tionghoa antara lain Dewa Ma Chou (penjaga laut), Tua Pek Kong (pelindung), Cia Lan Pho Sak (agar sukses dalam belajar), Chai Sheng Ya (banyak rejeki); pada ruangan bagian belakang, terdapat Dewa Thai Soi Kong (untuk buang sial), Kuan Ti Kong (keselamatan), Lau Chau (dewa penyembuh).

Hingga saat ini pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan dugaan pemugaran ilegal Klenteng Tien Hou Kong belum dapat dikonfirmasi, begitu juga dengan pemerintah setempat.

"Lembaga Pelestari Nilai Adat dan Tradisi (Pesilat) akan menempuh jalur hukum," katanya.

Baca juga: Polisi Tanjungpinang jaga 21 klenteng saat Imlek

Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019