Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) mengharapkan pers nasional ke depan mengembangkan jurnalisme damai (peace journalism) dalam memberitakan berbagai peristiwa yang terjadi di Tanah Air. "Sebaiknya pers nasional jangan hanya mengembangkan `war journalism` seperti peristiwa kekerasan atau bentrokan antarmassa," kata Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika bidang media massa, Henry Subiakto, dalam diskusi "10 Tahun Pers Mengawal Reformasi" yang diselenggarakan PWI Jaya di Jakarta, Kamis. Selain Henry, pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah Ketua Komisi I DPR RI Theo L Sambuaga, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tarman Azzam, dan Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal. Hadir pula dalam acara itu Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo serta sejumlah tokoh pers nasional seperti Asro Kamal Rokan, Parni Hadi dan Ja`far Assegaf. Menurut Henry, war journalism atau jurnalisme perang cenderung membesar-besarkan arena konflik dan efek kekerasan yang nampak sehingga dikhawatirkan akan memunculkan semangat saling bermusuhan. Sedangkan jurnalisme damai, katanya, berupaya memetakan konflik untuk memunculkan solusi, bukan hanya terfokus di arena konflik. Prinsip jurnalisme damai, lanjutnya, cenderung menonjolkan efek yang tidak tampak seperti penderitaan kemanusiaan, trauma psikologis korban, penderitaan kemanusiaan, dan hilangnya masa depan. "Efek yang tidak tampak ini justru penyembuhannya jauh lebih lama dan sulit dibandingkan misalnya dengan perbaikan rumah ibadah yang dirusak massa," kata Henry yang juga Ketua Dewan Pengawas Perum LKBN ANTARA. Prinsip jurnalisme damai, lanjut dia, berupaya mengungkapkan fakta secara lengkap dan memetakan konflik untuk memunculkan solusi, bukan hanya terfokus pada arena konflik. Meski demikian, Henry menilai bahwa media massa nasional sudah cukup bagus dalam menjalankan perannya di era kebebasan pers saat ini. Bahkan, katanya, pemerintah menilai media massa asing sudah "kalah berani" dibanding media massa nasional. Sementara itu, Ketua Dewan Pers Ichlasul Amal mengatakan, jurnalisme damai agak sulit dikembangkan karena pada umumnya pemberitaan media massa cenderung untuk memenuhi kebutuhan pelanggan atau pembaca. "Saya khawatir jika `peace journalism` ini diterapkan, akan banyak media massa yang mati karena memang yang disukai masyarakat saat ini adalah berita-berita yang `war journalism`," katanya. Membodohi masyarakat Sedangkan Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga mengingatkan media massa untuk tidak memuat berita atau informasi yang memicu kekerasan, disintegrasi bangsa, menyesatkan, dan membodohi masyarakat. Di sisi lain, Theo juga meminta agar kalangan pers siap menghadapi tuntutan hukum bila terjadi dugaan pelanggaran hukum, sesuai aturan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam acara tersebut, Masyarakat Pemantau Pemilu (Mapilu) PWI Jaya menyerahkan penghargaan "Tokoh Demokratis Siap Menang Siap Kalah" kepada sejumlah mantan calon gubernur/wakil gubernur yang dinilai telah menjunjung tinggi nilai demokrasi dengan menerima kekalahan saat Pilkada. Penghargaan yang diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo itu diberikan kepada Adang Darajatun dan Dani Anwar (calon gubernur/wakil gubernur DKI Jakarta, serta dua pasangan calon gubernur Jawa Barat yakni Danny Setiawan dan Iwan Sulandjana, dan Agum Gumelar dan Nu`man Abdul Hakim. Namun, dari enam tokoh tersebut, hanya Adang Daradjatun dan Iwan Sulandjana yang hadir.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008