Jakarta, (ANTARA News) - Jangan pernah berbohong kepada siapa pun, kata orang Barat. Jangan pernah menyakiti hati, kata orang Timur. Bagi pelatih Rusia Guus Hiddink, jangan pernah naif, dan buru-buru meminta maaf, setelah mengalami kekalahan dalam laga bola. Ditekuk Tim Matador 4-1 pada pertandingan Grup D, pada Selasa (11/6) malam, Rusia menanggung malu, menyeret duka, karena itu Hiddink menyebut pasukannya tampil memalukan lantaran bertanding secara naif. Sejumlah media Rusia melampiaskan kekesalannya dengan menurunkan judul-judul berita yang membuat telinga merah, misalnya "Banyak Tenaga, tetapi Tanpa Intelektual". Pesannya bernas: pakai kecerdasan nurani, bukan kekuatan otot dan akal! Yang diinginkan pelatih berusia 61 tahun itu satu saja yakni memahami makna "guilt-culture", ketika mengarungi laga sepakbola, ketika mendayung sampan kehidupan. Guilt-culture maksudnya, perasaan bersalah dalam batin, tanpa orang lain mengetahui. Sementara, shame-culture adalah rasa malu yang baru muncul sesudah orang lain mengetahui perbuatan baik atau tidak baik. Untuk membedakan guilt-culture dengan shame-culture, kolumnis dan psikolog MAW Brouwer mempunyai ilustrasi menarik. Ia menulis, "di negeri saya, banyak orang yang sangat korup. Tidak segan mencuri uang tidak hanya dari saudara-saudara yang kaya, tetapi dari rakyat biasa. Toh mereka mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan." "Orang yang mengatakan bahwa ia percaya pada Tuhan, padahal dia korup dan mencuri uang dari rakyat, maka dia bohong," katanya. Bukan semata-mata sedang berbicara mengenai Rusia, maka eksistensi Tuhan tiba-tiba tampil sebagai sosok yang menakutkan sekaligus memikat, tetapi justru publik ingin menimba air di oase kehidupan, bahwa ibadat yang wajar dan benar (haec est Religio vera) bukan semata-mata membakar lilin sambil memanjatkan rumusan doa, tetapi mengambil laba yang pas tanpa menerima uang suap, uang semir, uang map. Bahasa urakannya, kentut setan masih boleh dianggap wangi dupa ketimbang mengorupsi uang rakyat. Kalau Brouwer ingin menghardik elite birokrasi yang doyan mencekik rakyat, maka Hiddink berusaha mendongkrak mental para pemain Rusia sebelum bertanding melawan juara bertahan Yunani pada Minggu (15/6) di Salzbruck, Wals-Siezenheim. Baik Brouwer maupun Hiddink sama-sama mengimbau kepada publik agar menjalani hidup tidak sebatas aturan atau hukum, tetapi justru menilik suara hati. Terlalu menyandarkan diri kepada aturan legal menyeret orang kepada hal-hal yang sifatnya lahiriah. "Saya berbuat baik hanya untuk dilihat orang". Padahal, kegiatan makan, minum, berderma, berdoa, berjalan, dan duduk, hampir tidak pernah dapat dibuktikan secara yuridis. Apakah menyuap nasi dan lauk perlu aturan hukum? Meski sepakbola memuat seperangkat aturan, namun pesona bola justru terletak kepada pergerakan dari pemain ketika merangsek pertahanan lawan. Ada penguasaan lapangan tengah, ada koordinasi antar pemain. Akarnya kreativitas, dan muaranya bukan aturan-aturan beku. Sepakbola adalah kreativitas. Buktinya? Lihat saja perilaku Hiddink yang saja melontarkan kemarahannya kepada para pemain di ruang ganti, meski dia ingin bersetia dalam untung dan malang bersama anak asuhannya. Bagaimana tidak? Dia pernah tersentuh oleh publik Australia yang begitu antusias menyambut pelatih Belanda itu. Pada 22 Juli 2005, Hiddink mengemban tugas sebagai manajer timnas Australia. Bahkan ia merasa yakin dapat menangani PSV Eindhoven dan Australia saat bersamaan memenuhi salah satu kesepakatan kontrak. Alih-alih, Hiddink tidak setia, karena justru mencederai dua tugas itu pada pertengahan 2006, sesudah pelaksanaan Piala Dunia. Ketika laga play-off melawan Uruguay di Montevideo pada 12 November dan di Sydney pada 16 November 2005, tuan rumah menang 1-0. Alhasil, Australia lolos ke Piala Dunia menyusul kemenangan The Socceroos lewat adu penalti. Ini kali pertama dalam 32 tahun, Negeri Kangguru melaju sampai Piala Dunia. Bayarannya kontan. Hiddink mendapat sambutan luar biasa sebagai sosok yang disegani di seluruh negeri. Kedekatannya dengan Australia tercermin dari julukan yang diterimanya sebagai "Aussie Guus". Para fans The Socceroo melantunkan nyanyian "Goooooooooooos!" saat timnas Australia bertanding. Slogan bermunculan Sejumlah slogan bermunculan, misalnya ""No Guus, No Glory", "Guus For P.M" dan "In Guus We Trust". Begitu cintanya publik Australia, karena mereka mengandalkan formula suara hati, yakni dalam untung dan malang. Australia mampu lolos sampai putaran kedua, sebelum akhirnya tersingkir oleh Italia. Tim Azzurri hanya mampu mengalahkan Australia dengan skor 1-0. Gol semata wayang itu lahir dari gol kontroversial lewat titik penalti pada menit 55 dalam babak perpanjangan waktu. Hiddink terus berminat menangani Australia sampai kontraknya berakhir pada Juni 2008. Pada 10 April 2006, dalam siaran televisi Belanda, ia mengumumkan akan menangani timnas Rusia dengan menandatangani kontrak selama dua setengah tahun dengan bayaran berjumlah 2,4 juta dolar AS per tahun plus sejumlah bonus. Pada 14 April 2006, ia mulai menukangi timnas Rusia. Namanya sempat beredar sebagai calon manajer Chelsea. Ia menangguk sukses membawa Rusia lolos ke Piala Eropa 2008, bahkan telah memperpanjang kontrak sampai 2010. Dalam untung dan malang, Hiddink membekali diri dengan keampuhan "guilt-culture". Ia ingin skuad asuhannya terus membenahi diri, meski soalnya juga ada dalam diri pelatih Rusia itu. Skuad Hiddink dihuni oleh sejumlah pemain muda. Keraguan menerpa Hiddink mengingat waktu yang relatif sempit. "Kami harus terus belajar untuk lebih melakukan serangan balik," katanya. "Rasanya sulit, karena waktu yang tersisa tinggal tiga hari. Kami harus tampil lebih cepat. Ini perlu waktu tiga tahun." Sebanyak 22 pemain dari 23 yang dibawa ke Piala Eropa justru bermain di liga domestik. Faktor ini menyulitkan Hiddink. Jika Hiddink mengandalkan kecerdasan nurani, maka ia tidak perlu melontarkan kata-kata naif, karena ia tidak ingin disebut sebagai sosok ironis. Di satu sisi, berharap kepada kreativitas anak asuhannya, di lain sisi, mencederai kontrak. "Tim memerlukan keberanian. Kami tidak perlu berubah secara drastis karena langkah itu memerlukan pengalaman," katanya. Hiddink seakan sedang berbicara kepada diri sendiri. Untuk membongkar kenyataan diri yang terbelah, ia memerlukan revolusi nurani. Laga Rusia jadi laga bagi keutuhan diri Hiddink untuk berziarah dalam untung dan malang. Dalam fragmen yang sarat panggung ironis itu, sepakbola menyimpan misteri hitam-putih kehidupan bahwa maksud tindakan (finis operantis) akan mempengaruhi buah tindakan seseorang. Maksud seseorang bisa sama saja dengan obyek tindakan seseorang. Meski, dalam hidup sehari-hari sering terjadi bahwa maksud subyek berbeda dengan obyek tindakan. Baik atau buruknya maksud seseorang dapat memunculkan perbuatan yang baik atau buruk. Namun, maksud atau kehendak baik belum pasti menjamin perbuatan baik yang dapat diterima oleh pihak lain. Keadaan seseorang mempengaruhi kualitas perbuatannya. Dan maksud tindakan tidak dapat bahkan tidak boleh menghahalalkan segala cara untuk mencapainya. Cara yang dianut dalam mewujudkan suatu maksud seharusnya baik dan halal. Di sini Hiddink menunjukkan kualitas pribadinya, karena mengusung "guilt-culture", mencampakkan "shame-culture", karena di sana ada suara hati. Pelatih Rusia itu memperhatikan konteks perbuatan dan maksud tindakannya. Yang lebih memikat, ia ingin membebaskan diri dari jerat "narasi besar"- meminjam istilah postmodern - seperti kemajuan, kebebasan, keadilan. Ia memilih untuk menggunakan kelugasan dalam permainan bahasa. Berbicara berarti "berkelahi" atau "berjuang" dalam pergulatan sarat makna dari mosaik sepakbola. Pelatih Spanyol Luis Aragones mengetahui betul rahasia dari mosaik sepakbola yang terbalut dalam perjuangan selaksa makna dari uniknya setiap permainan bahasa. "Jika saja kami dapat menang dengan mudah, maka hasil laga ini tidak seperti yang kita saksikan, Saya pikir, kami sedikit beruntung. Dalam tekanan, kami mampu mencetak gol." Gelandang Cesc Fabregas yang mencetak gol keempat bagi Spanyol mengatakan, "Unggul dua gol sebelum turun minum banyak menolong kami. Rusia tim yang sangat kuat. Saya tidak yakin bahwa kami dapat menang 4-1 karena mereka tampil menyerang pada awal pertandingan. Kami berada dalam tekanan." Setelah diteror barisan depan Rusia, pasukan Aragones perlahan beradaptasi dengan situasi laga yang berkembang saat itu dengan ketekunan dan kesabaran. Mereka mengantisipasi setiap operan-operan panjang dari para pemain Rusia. Empat gol yang tercipta berbuah dari serangan balik dengan mengandalkan ketajaman dari David Villa dan Fernando Torres. Lain Aragones, lain Hiddink. Hanya dengan kesetiaan, ketekunan, dan kesabaran, rumus sepakbola kehidupan tampil renyah. Sukses Hiddink terletak kepada keberanian berkelahi di lapangan hijau dengan mengandalkan suara hati. Sukses Aragones terpulang kepada kepada tekadnya mengobarkan revolusi nurani. Hiddink memulai, Aragones melengkapi. Keduanya menggunakan bahasa yang berterima, yakni dalam untung dan malang. (*)

Pewarta: A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008